Pagi itu, Kaelen bangun dengan kepala berat dan firasat buruk.
Langit berwarna tembaga. Burung-burung sepi. Dan pasukannya... tegang. Terlalu tenang untuk sebuah kamp yang baru menerima ancaman dari Kuil Meridra.
Seraphine sedang dirawat di tenda medis, tubuhnya demam dan bercahaya samar. Segel dalam dirinya mulai aktif, tapi belum meledak.
Kaelen berjalan ke tenda perang—dan di sanalah dia melihatnya.
Thoren.
Berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh enam prajurit. Tapi yang aneh... bukan mereka. Melainkan Veyran, si Pendeta Emas, duduk di salah satu kursi, tersenyum tenang.
Kaelen berhenti di ambang pintu.
"Thoren…" suaranya parau. "Apa kau mengundang dia ke sini?"
Thoren menatapnya. Matanya... berat. Bukan penuh kebencian—tapi seperti seseorang yang akan melemparkan dirinya ke jurang.
"Aku mengirim pesan ke mereka sejak kau menghilang," kata Thoren. "Aku tahu kau akan menolak menyerahkan Putri. Tapi Kaelen… aku melihat apa yang dia lakukan padamu. Aku melihat segel itu... masuk ke dalam matamu saat kau menyentuhnya. Kau bahkan tidak sadar."
Kaelen mencengkeram gagang pedangnya. "Apa maksudmu?"
"Segel itu bukan hanya di tubuh Seraphine. Kegelapan itu... perlahan menjalari kau juga. Dan aku tidak akan biarkan kau jatuh."
> "Kau mengkhianatiku…"
"Aku menyelamatkanmu!"
Teriakan Thoren membuat semua terdiam.
"Aku akan jadi pengkhianat, monster, bajingan—apa pun di matamu, asal aku bisa membuatmu tetap utuh. Veyran berjanji akan menahan kekuatan segel jika aku menyerahkan Seraphine sebelum ia pecah."
Kaelen berjalan maju, pelan.
"Jadi kau menjualnya?"
Thoren gemetar.
"Demi kau."
Tanpa peringatan, Kaelen mencabut pedangnya dan menebas satu prajurit di samping Veyran. Perkelahian pecah. Tenda berubah jadi ladang darah.
Thoren tidak bergerak. Ia hanya berdiri, membiarkan Kaelen menyerang semua orang di ruangan... lalu, saat mereka semua mati dan Veyran melarikan diri dalam sihir asap—
Kaelen berbalik, napasnya berat.
"Angkat pedangmu, Thoren."
Thoren menggeleng. "Kalau aku angkat, kau akan mati. Dan itu yang ingin kuhindari."
Kaelen tak peduli. Ia menyerang—dan Thoren hanya bertahan, menangkis, tidak membalas.
Darah bercucuran. Di akhir duel, Kaelen menempelkan pedangnya ke leher Thoren.
"Kalau kau bukan musuhku," bisiknya, "maka mengapa aku ingin membunuhmu sekarang?"
Thoren menutup mata.
> "Karena kau harus membenciku… supaya kau tetap kuat."
Dan dia menjauh, menurunkan senjata, lalu berlari keluar dari kamp—meninggalkan Kaelen yang gemetar, bukan karena lelah, tapi karena hatinya pecah.
---
Malam itu, Kaelen duduk di depan api. Matanya menatap kosong.
Seraphine mendekat.
"Dia tidak melukai aku," katanya pelan. "Bahkan saat dia bisa."
Kaelen tidak menjawab. Ia hanya memandang langit, dan berkata lirih:
> "Terkadang... musuh paling berbahaya adalah orang yang terlalu mencintaimu."
---
Bab 8 selesai.