Cherreads

Chapter 2 - Belas Kasihan Sang Pemenang

Fajar menyingsing dengan warna kelabu yang sama seperti hari-hari sebelumnya, menyelinap melalui satu-satunya jendela kecil di kamar asrama mereka. Ruangan itu sempit, berdebu, dan terletak di sayap menara paling terpencil di Akademi Amabel—penjara yang mereka sebut rumah.

Arion sudah terjaga. Keringat membasahi pelipisnya saat ia menyelesaikan repetisi terakhir dari latihan fisiknya. Dorongan push-up yang ke seratus terasa membakar otot-ototnya, sebuah rasa sakit yang disambutnya dengan baik. Rasa sakit fisik adalah pengalih perhatian yang nyata dari kekosongan di dalam dadanya. Ini adalah disiplin baru yang lahir dari keterpurukan, sangat kontras dengan kemalasan seorang pangeran yang dulu sering bangun siang.

Pintu berderit pelan. Elara masuk, membawa nampan dengan sarapan mereka: dua potong roti keras dan segelas air. Tidak ada kata-kata. Ini adalah rutinitas yang telah mereka jalani selama enam bulan—sebuah tarian sunyi penuh pengertian. Sambil meletakkan nampan, Elara dengan sigap menyiapkan seragam akademi Arion yang sederhana.

"Aku masih tidak mengerti mengapa mereka membiarkanku hidup," Arion akhirnya memecah keheningan, suaranya serak dan bernada sinis.

"Bukankah lebih mudah memenggal kepala terakhir dari garis keturunan Valerius?"

Elara berhenti sejenak, tatapannya bertemu dengan Arion di pantulan cermin tua.

"Itu akan membuat Raja Gideon terlihat sama seperti ayah Anda, Tuan Muda. Mengeksekusi seorang anak yang tidak bersalah bukanlah citra yang diinginkan 'Sang Pahlawan'," jawabnya sambil menata jadwal kelas di atas meja. "Di depan dewan, ia menyebut ini 'tindakan belas kasihan dan pendidikan ulang'."

Ia berbalik, matanya yang biasanya lembut kini menajam dengan kecerdasan seorang ahli strategi.

"Tapi kita tahu yang sebenarnya. Ini bukan belas kasihan. Ini adalah kandang. Penjara yang lebih elegan. Mereka ingin mengawasi Anda, memastikan Anda tidak menjadi simbol bagi para loyalis lama, sambil menunjukkan pada dunia betapa 'adilnya' rezim baru mereka."

Arion tertawa kecil, sebuah suara tanpa kehangatan. Ia mengambil sepotong roti. "Jadi," gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Aku adalah piala kemenangan mereka."

Ruang kelas Sejarah Kerajaan itu megah, dengan langit-langit tinggi dan jendela-jendela besar yang menghadap ke halaman utama. Namun bagi Arion dan Elara, ruangan itu terasa menyesakkan. Mereka duduk di barisan paling belakang, dikelilingi oleh lautan kursi kosong yang sengaja diciptakan oleh para siswa lain—sebuah pulau isolasi yang mencolok.

Guru Alistair, seorang pria paruh baya yang senyumnya tak pernah sampai ke mata, berdiri di depan kelas. Hari ini, ia membahas "kebijaksanaan dan keadilan" Raja Gideon.

"Seperti yang bisa kita lihat dari kehadiran Tuan Muda Valerius di antara kita," kata Guru Alistair, suaranya yang ramah terdengar seperti beludru, namun tatapannya tajam tertuju pada Arion.

"Raja Gideon adalah pemimpin yang berbelas kasih. Di mana rezim lama akan menghukum darah, rezim baru justru menawarkan pendidikan. Sebuah kesempatan penebusan yang, tentu saja, harus dihargai."

Sarkasme itu menggantung di udara, tebal dan beracun. Beberapa siswa terkekeh. Arion tetap diam, wajahnya setenang danau beku.

"Kalau begitu," lanjut sang guru, "Mungkin Tuan Muda Valerius bisa mencerahkan kita. Mengapa menurut Anda 'Festival Penaklukan' ayah Anda adalah kebijakan yang... gagal?"

Seluruh kelas menahan napas, menunggu ledakan amarah atau penghinaan. Namun, yang mereka dapatkan adalah keheningan sejenak. Arion menatap lurus ke arah sang guru.

"Kegagalan 'Festival Penaklukan' bukan terletak pada moralitasnya, Guru," jawab Arion, suaranya tenang dan jelas, memotong keheningan.

"Melainkan pada strateginya. Itu adalah pemborosan sumber daya militer yang sangat besar, mengorbankan prajurit potensial—meski dari kalangan rakyat biasa—hanya untuk pertunjukan kekuatan yang sementara. Itu menciptakan ketidakstabilan di perbatasan dan memicu kebencian internal, yang terbukti menjadi salah satu paku di peti mati rezimnya sendiri. Secara strategis, itu adalah sebuah kebodohan."

Ruangan itu sunyi senyap. Jawaban Arion yang dingin, logis, dan sama sekali tidak emosional membuat sang guru terdiam, tidak bisa membantah.

Di barisan depan, seorang gadis berkacamata dengan rambut gelap yang sedikit berantakan, yang tadinya sibuk mencatat, kini berhenti menulis. Pulpennya tergantung di udara. Ia menoleh sedikit, menatap Arion bukan dengan kebencian, tetapi dengan keterkejutan yang murni dan percikan rasa ingin tahu di matanya yang besar. Nama gadis itu Lyra, dan untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu yang lebih dari sekadar "darah tiran". Ia melihat seorang pemikir.

Di lapangan latihan, suara denting pedang memenuhi udara sore. Para siswa bangsawan berlatih dengan pedang berkilauan, gerakan mereka indah namun sering kali tidak efisien.

Arion dan Elara hanya berdiri di pinggir, mengamati. Kehadiran mereka saja sudah cukup untuk menciptakan zona kosong di sekitar mereka.

"Lihat, dia di sana," bisik seorang siswa pada temannya.

"Hanya menonton. Pengecut."

"Apa yang kau harapkan dari sisa-sisa tiran? Tentu saja dia tidak berani mengangkat pedang."

Arion mengabaikan mereka. Matanya terpaku pada seorang siswa yang sedang berlatih. Gerakan kakinya salah, batin Arion, menganalisis secara otomatis. Pijakannya terlalu lebar, serangannya menjadi tidak seimbang. Mudah sekali untuk dijatuhkan.

Tiba-tiba, Lucian Gideon dan para pengikutnya mendekat.

"Kehadiranmu menodai lapangan latihan ini, Valerius," desis Lucian, cukup keras untuk didengar orang-orang di sekitarnya. "Tempat sampah sepertimu seharusnya tidak berada di sini."

Arion tidak menanggapi. Tatapannya masih tertuju pada para siswa yang berlatih, seolah Lucian hanyalah udara kosong.

Sikap abai inilah yang paling membuat Lucian marah. Merasa diabaikan, ia memberi isyarat pada salah satu pengikutnya.

"Sepertinya 'piala kemenangan' ini perlu diingatkan di mana tempatnya."

Namun, sebelum pengikutnya sempat melangkah, sebuah suara yang dalam dan tenang memotong.

"Dia tidak melakukan apa pun."

Semua mata menoleh ke sudut lapangan. Di sana berdiri Kael, seorang siswa senior pendiam bertubuh tegap, sedang menyeka pedang besarnya. Ia menatap lurus ke arah Lucian, tatapannya datar.

"Dia hanya mengamati. Biarkan saja."

Lucian mendengus, terlalu angkuh untuk berdebat dengan Kael. Dengan tatapan penuh ancaman terakhir pada Arion, ia berbalik dan pergi.

Malam itu, di kesunyian kamar mereka, Arion dengan telaten merawat pedang sederhananya—satu-satunya warisan berharga yang tersisa. Pedang latihan dari istana, namun di tangannya terasa lebih hidup daripada pedang permata manapun.

"Kau benar, Elara," katanya pelan, memecah keheningan.

"Ini memang kandang. Tapi bahkan singa di dalam kandang pun masih bisa mengasah cakarnya. Mereka memberiku pedang untuk menjaga ilusi ini. Aku akan menggunakannya untuk menjadi cukup kuat sehingga kandang ini tidak bisa lagi menahanku."

Elara tersenyum tipis, sebuah senyum lega dan penuh kebanggaan.

Setelah Elara tertidur di ranjangnya yang sederhana di seberang ruangan, Arion duduk dalam kegelapan. Ia menatap telapak tangannya, mencoba merasakan kembali denyut hangat yang ia rasakan di malam tragedi itu. Ia berkonsentrasi, memfokuskan seluruh keinginannya, bukan pada amarah, bukan pada balas dendam, tetapi pada satu kata: lindungi.

Ia harus melindungi Elara.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, sesuatu terjadi. Sebuah cahaya redup, sekecil kunang-kunang, berkedip sesaat di tengah telapak tangannya sebelum padam.

Wajah Arion tidak menunjukkan keterkejutan. Hanya ada sebuah tekad yang baru, dingin, dan sekeras baja. Di dalam penjara itu.

More Chapters