Hujan di luar belum berhenti. Tapi hawa di dalam mobil jauh lebih dingin.
Aku duduk diam di kursi penumpang, napasku tidak teratur. Sementara itu, Feby menopang dagu di setir mobil, menatap lurus ke kaca depan yang berkabut.
> "Lucu ya," katanya tanpa menoleh. "Kamu bisa berdiri di depanku sekarang, ngomong pakai tatapan penuh percaya diri."
Ia menyeringai, pelan tapi menyakitkan.
> "Padahal kamu cuma kurir, Raksa. Cowok kampung, yang dulu aku... jijik buat sebutin namanya."
Aku diam.
> "Tapi nggak apa-apa," lanjutnya. "Aku suka eksperimen."
Ia akhirnya menatapku, pelan-pelan mendekat.
> "Malam ini aku kasih kamu satu hal yang bisa kamu banggakan seumur hidup."
Seperti yang kau inginkan.
> "Apa?" suaraku nyaris tidak terdengar.
> "Ciuman," jawab Feby, pelan. "Tapi setelah itu, kamu keluar dari mobil ini. Dan mulai besok, kamu siap-siap viral."
> "Viral?"
> "Aku tinggal bilang kamu maksa. Nggak perlu bukti. Cukup muka polos dan air mata palsu sedikit,
kamu tamat.
Ia tersenyum manis — senyum palsu.
> "Cium aku sekarang. Atau aku bilang kamu maksa aku bahkan tanpa nyentuh aku sama sekali. Pilih yang mana?"
Jantungku berhenti satu detik.
Feby meraih daguku, mendekatkan wajahnya sendiri.
> "Kamu pikir kamu bisa bikin aku penasaran? Kamu salah. Aku cuma pengen balikin kamu ke tempat kamu seharusnya: bawah."
Bibirnya menyentuh bibirku.
Singkat. Dingin. Sepi.
---
> [SISTEM: Misi 1 Selesai – FEBY ✅]
[Skill Diperoleh: Tatapan Penetrasi Lv.1]
[Peringatan: Target memiliki niat mencemarkan reputasi sosial. Level manipulasi: Tinggi]
[Proteksi Sosial Lv.1 Aktif – Jejak digital disembunyikan. Potensi laporan diputarbalikkan.]
---
Aku keluar dari mobil tanpa sepatah kata.
Hujan menampar wajahku, tapi tidak lebih dingin dari yang barusan.
Mobil melaju meninggalkanku. Seperti semuanya selama ini.
---
[SISTEM AKTIF – Detail Skill: "Tatapan Penetrasi Lv.1"]
Kemampuan membaca respons emosional spontan wanita
Dapat mengirim sugesti ringan lewat tatapan (efektif saat emosi target goyah)
Batas harian: 3x penggunaan
> "Ciuman pertama…" gumamku lirih.
"... dan rasanya seperti dikencingi dunia."
> "Skill ini nggak akan nyelamatin harga dirimu, Raksa," ucapku dalam hati.
"Tapi mungkin... bisa bantu kamu balas."
---
Kontrakan.
Aku masuk dalam diam. Duduk di tikar tipis. Lampu kuning temaram.
Sistem masih aktif di kepala, suara notifikasinya masih terngiang.
Tapi aku tidak merasa menang. Tidak merasa naik level. Tidak merasa apa-apa.
Aku hanya menggenggam tangan sendiri, dan menggumam:
> "Kalau ini permulaan, berarti neraka nggak jauh dari sini."
---
Malam itu panjang. Jam dinding tak berbunyi, tapi aku tahu waktu tidak jalan.
Aku menatap langit-langit kontrakan. Kipas angin gantung berderit pelan. Tubuhku kaku. Pikiran berputar.
Lalu…
[SISTEM AKTIF – MODE SIMULASI PERINGATAN]
["Apakah kau siap melihat akibat jika sistem tak memberi perlindungan?"]
---
Simulasi 1: Tanpa Perlindungan Sistem
Kamera ponsel Feby aktif, suara rekamannya diputar ulang:
> "Dia maksa aku. Di mobil. Aku takut…"
Grup WhatsApp alumni mulai heboh
Postingan dengan nama dan foto Raksa menyebar cepat
Klip diedit, dibuat seolah dia menangis
Pekerjaan MC sebagai kurir langsung ditangguhkan
Polisi mendatanginya
> "Kamu bebas, karena tidak cukup bukti. Tapi nama baikmu… sudah jadi abu."
---
Aku duduk, terdiam. Tangan mengepal.
> "Gitu ya… itu niat dia."
[SISTEM: Simulasi selesai. Proteksi Sosial Lv.1 telah menetralkan semua kemungkinan tersebut. Namun…]
> "Setiap skill yang kamu dapat… datang bersama harga."
---
Aku berdiri. Keringat dingin menetes.
> "Kalau ini harga dari satu ciuman… gimana dengan sembilan lainnya?"
[SISTEM: Target selanjutnya sedang dalam pemindaian...]
---
Aku keluar rumah, masih dengan pikiran kacau.
Di luar, pagi baru saja membuka tirai. Seorang perempuan sedang mengangkat galon di depan rumah sebelah.
Lengannya berotot ringan, rambutnya dicepol rapi, memakai daster sutra dan sandal rumah mahal.
Dia janda. Tetanggaku. Pemilik toko kosmetik dua ruko dari sini.
Namanya…
> RITA.
Seketika, sistem berbunyi:
> [TARGET BARU TERDETEKSI – RITA]
Status: Janda. Emosi: Kesepian 47%, Waspada terhadap pria muda 31%, Rasa ingin dikagumi 68%.
Misi Awal: Buat dia mengundangmu masuk ke dalam rumah dalam 3 hari.
---
Aku menatap punggung Rita yang masih bergumul dengan galon.
Dia mengumpat pelan.
Aku tersenyum… setipis luka yang belum sembuh.
> "Feby nyium aku buat ngebunuh nama aku.
Tapi janda ini… mungkin bisa nyelametin ego aku."
---
Pagi itu basah oleh gerimis sisa malam. Udara masih lembab, jalanan gang masih becek.
Aku berdiri di depan rumah, merenggangkan tubuh setelah malam panjang yang rasanya seperti dikuliti pelan-pelan. Rasa pahit ciuman Feby masih menempel di dasar tenggorokan.
Lalu kudengar suara seseorang menggerutu di depan rumah sebelah.
> "Aduh, berat banget sih!"
Aku menoleh.
Dia.
Rita.
Tetanggaku, pemilik toko kosmetik dua ruko dari sini. Daster sutra hitam selutut, rambut dicepol rapi, wajah tanpa make up tapi tetap menarik. Tangan kanannya mencengkeram gagang galon yang hampir sebesar tubuhnya. Dia berjongkok, tapi galon itu tak bergeming.
[SISTEM AKTIF – Target Baru Terdeteksi]
> Nama: Rita
Status: Janda tanpa anak
Profesi: Pemilik bisnis kecil
Emosi dominan: Letih – 42%, Kesepian – 51%, Waspada terhadap pria muda – 37%
[MISI AKTIF: Buat dia mengundangmu masuk ke rumah dalam 3 hari]
Aku tarik napas. Perlahan melangkah ke arahnya, tapi tidak langsung menawarkan bantuan.
> "Berat ya, Bu?"
Rita mendongak. Matanya langsung menyipit, pertahanan refleks wanita dewasa aktif.
> "Nggak usah dibantu, saya bisa sendiri."
Nada tajam. Tapi bukan karena benci — lebih seperti karena sudah terlalu sering disakiti kalau terlihat 'lemah'.
Aku angguk, tidak banyak bicara. Lalu duduk di ujung tangga kecil rumahnya, cukup dekat tapi tak melewati batas.
> "Bukan masalah kuat atau nggak kuat, Bu. Kadang orang kuat juga berhak istirahat."
Dia menatapku sekilas, lalu kembali pada galonnya. Tapi kalimatku menggantung di udara seperti uap kopi — tidak langsung menghilang.
[SISTEM: Respons emosional +4%. Penurunan pertahanan ringan. Target belum siap menerima bantuan fisik.]
---
Lima menit kemudian.
Galon masih belum naik. Aku tetap diam.
Akhirnya dia bersuara, suaranya lebih rendah sekarang.
> "Kamu kerja kurir ya?"
> "Iya, Bu. Keliling kota, tapi hari ini jadwal kosong."
> "Kamu tinggal sendiri di kontrakan situ?"
Aku mengangguk. Dia menghela napas, lalu memiringkan kepala. Matanya meneliti, bukan melirik. Seolah menimbang: aku ancaman atau bukan?
> "Saya kira kamu tipe cowok yang... cuma bisa ngerayu, ternyata diem juga ya."
> "Yang diem bukan berarti nggak bisa bikin deg-degan, Bu."
Aku tersenyum tipis.
Dia menahan tawa. Senyumnya muncul setengah detik, lalu ditarik lagi.
> "Awas, nanti kamu ketagihan tinggal di samping janda."
> "Kalau semua janda secerdas dan sekuat Ibu, mungkin saya malah pengin jadi tetangga selamanya."
[SISTEM: Reaksi positif terdeteksi. Emosi target: Tertarik samar – 8%.]
---
Akhirnya, Rita berdiri dan menendang ringan galon itu dengan kakinya.
> "Kalau kamu memang nggak buru-buru... boleh bantuin, tapi jangan bawa masuk ya. Taruh di dapur aja, pintunya kebuka."
Itu bukan undangan masuk sepenuhnya. Tapi itu langkah pertama.
Aku berdiri, mengangkat galon itu seolah ringan seperti kardus sabun.
Rita memandangku dari balik kacamata baca yang baru dia pakai. Tatapannya berbeda sekarang — bukan curiga, tapi observatif.
---
Sesaat sebelum aku masuk ke dapur belakang, dia berkata:
> "Kamu tahu, Raksa... cowok muda itu biasanya nekat. Tapi kadang yang paling bahaya bukan yang nekat, tapi yang tenang."
Aku hanya tersenyum sambil berkata dalam hati:
> "Dan kadang... janda bukan wanita yang lemah. Mereka cuma menunggu alasan untuk percaya lagi."
---
Pukul 09.10 pagi.
Aku baru selesai menyapu halaman kontrakan waktu mencium aroma kopi dari arah rumah sebelah. Wangi arabika medium roast, campur sedikit bau pandan dari roti tawar bakar.
Suara sendok menari di cangkir. Gelas kaca diketuk pelan.
Rita duduk di teras dengan daster baru, abu-abu gelap dan lebih longgar dari sebelumnya. Rambutnya belum dikeringkan sepenuhnya, tapi wangi sabun dari tubuhnya menembus pagar tipis jarak.
Ia menoleh saat aku hendak lewat.
> "Udah disapu? Rajin juga kurir satu ini."
Aku senyum, sopan tapi cuek.
> "Kalau malas, saya bisa dikirim balik ke kampung, Bu."
> "Bukan soal kampung atau kota. Cuma jarang lihat cowok muda tahan tinggal sendiri."
Dia mengangkat cangkirnya, lalu bertanya datar:
> "Udah sarapan?"
> "Baru minum air putih."
Aku menahan suara batuk kecil karena memang belum makan.
Rita menepuk kursi di sampingnya — masih di luar, belum undang masuk.
> "Kalau mau numpang kopi, sini aja."
---
Aku duduk pelan. Tidak langsung bicara.
Kopi hitam disodorin ke arahku. Cangkir murah, tapi wanginya mewah.
> "Kalau racikanku pahit, jangan protes. Saya bukan istri siapa-siapa lagi."
> "Justru itu. Biasanya rasa kopi janda lebih jujur daripada kopi istri."
Aku minum. Panasnya tipis, pahitnya lembut. Tapi lidahku nyaris kelilit lidah sendiri karena ucapanku barusan.
Rita tertawa kecil.
> "Bahaya juga kamu, ya. Manisnya nggak kelihatan, tapi tiba-tiba nyelekit."
---
[SISTEM: Emosi target menghangat. Level pertahanan turun ke 31%.]
> "Gunakan skill 'Tatapan Penetrasi' untuk membaca titik retak emosional."
Aku mengangkat kepala. Menatap mata Rita lebih lama dari biasanya.
[SKILL AKTIF – TATAPAN PENETRASI Lv.1]
---
Data Emosional Real-Time:
Trauma perceraian: masih aktif
Rasa ingin dianggap kuat: tinggi
Kebutuhan dikagumi: 73%
Poin sensitif: pembicaraan tentang rumah tangga dan pengkhianatan
---
> "Saya boleh tebak sesuatu, Bu?"
> "Tebak apa?"
> "Dari cara Ibu menyeduh kopi... dan caramu nggak suka ditanya soal 'butuh bantuan'... saya rasa ibu bukan benci laki-laki. Ibu cuma pernah dibikin percaya... sama orang yang akhirnya ninggalin."
Kalimatku jatuh tanpa tekanan, tapi seperti batu kecil di danau tenang.
Rita diam. Matanya berkedip lebih pelan. Ujung cangkir disentuh, tapi tidak diminum.
> "Kamu banyak tahu."
> "Nggak. Saya cuma belajar dari orang yang nggak pernah berhenti nyeduh kopi... meski nggak ada yang minum bareng."
[SISTEM: Efek tatapan berhasil. Emosi Rita terpicu – Kepercayaan naik +8%]
---
> "Bentar."
Rita berdiri, masuk ke rumah.
Lima menit kemudian, dia keluar sambil membawa… piring roti bakar dan selai kacang.
> "Makan tuh. Biar kamu nggak bikin perut saya ikut laper denger suara perut kamu."
> "Makasih, Bu."
Aku menerima, tapi tidak buru-buru makan.
> "Jangan terlalu sopan. Saya udah lama nggak bikin sarapan buat siapa-siapa."
Matanya menyiratkan sesuatu yang tidak bisa langsung disebut 'kesepian'.
---
Aku gigit pelan roti itu, lalu berkata:
> "Kalau saya bilang... saya pengin tiap pagi diseduhin kopi gini, Bu... itu kedengaran genit atau tulus?"
Rita memicingkan mata.
> "Tergantung."
> "Tergantung apa?"
> "Tergantung, kamu habis ngomong gitu... kamu langsung pamit pulang, atau minta masuk?"
Aku tersenyum.
Aku belum masuk. Tapi gerbang sudah terbuka.
---
Roti di tanganku tinggal separuh. Tapi suasana terasa lebih berat dari sebelumnya.
Rita menyender di kursi plastiknya, menatap jauh ke arah gang kecil yang mulai ramai oleh ibu-ibu lewat sambil bawa kantong belanja.
Aku tahu — bukan tatapan kosong. Itu tatapan yang sedang menahan sesuatu.
Aku meneguk kopi terakhirku, lalu berkata pelan:
> "Bu…"
Rita menoleh.
> "Saya cuma mau bilang, saya pernah hidup sama perempuan paling kuat yang saya kenal.
Namanya nenek saya."
> "Waktu saya masih SD, ayah saya ninggalin ibu saya buat wanita lain. Nenek saya nggak banyak ngomong waktu itu, tapi saya lihat sendiri... dia terus masak tiap pagi, terus nyapu, terus nyeduh kopi, padahal nggak ada yang dia hidangkan ke siapa-siapa."
> "Sampai akhirnya saya ngerti, perempuan kuat bukan yang nggak pernah sakit hati. Tapi yang bisa hidup meski hatinya bolong."
---
[SISTEM AKTIF: Deteksi reaksi emosional target...]
> Gugup dalam diam: terdeteksi
Mata berkedip cepat: ya
Bibir bawah digigit: ya
Poin Sentuh Emosi: 84% – Titik Goyah Terpicu
---
Rita terdiam. Lama.
Lalu ia berkata dengan nada pelan, tapi tegas:
> "Kamu bukan cowok biasa, Raksa."
> "Saya juga nggak sempurna."
> "Tapi kamu bahaya."
> "Bahaya gimana?"
Rita berdiri. Membawa gelas kopinya dan roti sisa ke dalam. Tapi sebelum masuk, dia menoleh d
an berkata:
> "Saya pengin tahu kamu bisa apa lagi selain ngomong. Masuklah. Bantuin saya pilih parfum. Ada stok baru, tapi baunya terlalu banyak campur. Saya butuh hidung netral."
---
[SISTEM: MISI SELESAI ✅ – TARGET MENGUNDANGMU MASUK RUMAH]
> Misi baru akan dimulai setelah interaksi dalam ruangan.
Status kepercayaan meningkat signifikan. Target kini menganggapmu "berpotensi".
---
Aku berdiri pelan. Jantungku berdetak cepat, tapi bukan karena gairah. Lebih karena...
> "Wanita ini... bukan cuma janda."
"Dia teka-teki. Dan aku baru buka lapisan pertama."
---