Cherreads

Penakluk Hati Angkuh

Vero_5148
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
593
Views
Synopsis
Azril, seorang cowok biasa dengan segudang ide konyol dan keberanian seadanya, tiba-tiba hidupnya jungkir balik sejak melihat Niken. Niken bukan cuma cantik, tapi juga punya aura 'diva' yang bikin cowok lain minder
VIEW MORE

Chapter 1 - Misi Penakluk Hati Angkuh

Azril selalu menganggap perpustakaan sekolah itu seperti tempat persembunyian terbaik. Bukan karena dia kutu buku kelas kakap, sih. Lebih tepatnya, itu satu-satunya tempat dia bisa kabur dari kebisingan kantin yang seperti pasar ikan atau teriakan histeris anak-anak basket di lapangan. Hari itu, misinya sederhana: mencari buku fisika yang entah kenapa bisa lenyap begitu saja dari lokernya, dan menunda bertemu Bu Rina, guru fisika yang punya kemampuan mendeteksi siswa bolos tugas dari jarak seratus meter.

Ia menyusuri rak-rak tinggi, menggerutu pada dirinya sendiri karena kecerobohan. Tepat di lorong Ilmu Pengetahuan Alam, samar-samar terdengar bisikan dari balik deretan buku biologi. Penasaran (atau lebih tepatnya, ingin menghindari fisika sebentar), Azril melongok.

Di sana, di antara rak-rak usang yang berbau kertas tua, duduklah Niken.

Cahaya lampu neon perpustakaan yang dingin entah bagaimana justru membuat siluetnya terlihat lebih menonjol. Rambut hitam panjangnya tergerai indah, menutupi sebagian punggungnya yang tegak. Dia mengenakan jaket denim yang stylish dan celana jeans yang pas di tubuhnya. Bukan gaya yang umum dipakai di perpustakaan, tapi entah kenapa di Niken, itu terlihat sangat cocok. Dia sedang asyik membolak-balik majalah fashion dengan ekspresi serius, seolah masa depan dunia mode ada di tangannya.

Azril terpaku. Ini bukan kali pertama ia melihat Niken. Siapa yang tidak tahu Niken? Gadis paling populer di angkatan, ratu drama pensi, dan target gebetan para cowok seantero sekolah. Tapi ini kali pertama Azril melihatnya sedekat ini, di tempat yang tak ia duga. Tanpa riasan tebal atau lingkaran teman-teman yang biasanya mengelilinginya. Ia terlihat... berbeda. Lebih tenang. Lebih... memikat.

"Wah, gawat ini," batin Azril. Jantungnya berdebar, bukan karena takut fisika lagi, tapi karena efek Niken yang mendadak muncul di radarnya.

Tiba-tiba, Niken menghela napas panjang. Ia menutup majalahnya dengan sedikit kasar, lalu menggerutu pelan. "Sial. Gambar bajunya sama sekali tidak relate."

Azril tanpa sadar terkekeh kecil. Relate? Di perpustakaan? Niken memang punya dunianya sendiri.

Sialnya, kekehan kecil Azril tidak luput dari pendengaran Niken. Gadis itu menoleh. Matanya, sehitam malam tapi tajam, langsung bertemu pandang dengan Azril. Detik itu, Azril merasa seperti tikus yang ketahuan mengintip keju.

"Apa lihat-lihat?" suara Niken dingin, seperti es yang baru keluar dari kulkas. Tidak ada senyum ramah, tidak ada basa-basi. Langsung ke inti, dengan nada yang membuat bulu kuduk merinding.

Azril gugup. "Eh, maaf. Enggak... cuma lewat."

Niken mengangkat satu alisnya. "Lewat? Di lorong ini? Mau ke mana? Buku tentang awkwardness?"

Sumpah, Azril ingin sekali kabur detik itu juga. Itu adalah sambutan terdingin yang pernah ia dapatkan. Ia tahu reputasi Niken memang begitu: angkuh, sombong, dan cenderung meremehkan. Tapi bertemu langsung, efeknya sepuluh kali lipat.

"Fisika," jawab Azril cepat, tanpa berpikir. Ia menunjuk rak di belakang Niken. "Cari buku fisika."

Niken mendengus pelan, lalu kembali fokus pada majalahnya. Seolah-olah Azril sudah tidak ada di sana. Seolah-olah dia hanyalah debu yang mengganggu penglihatannya.

Azril merasa panas dingin. Oke, pesona Niken memang tak terbantahkan, tapi kesombongannya juga luar biasa. Ia tahu banyak cowok yang ditolak mentah-mentah olehnya, atau parahnya lagi, diabaikan seolah mereka tidak eksis. Ini adalah kutukan. Kutukan perpustakaan yang membuatnya jatuh hati pada Si Ratu Es yang satu ini.

"Nomor telepon? Sosial media? Jangan harap," gumam Azril dalam hati, sambil mundur perlahan, meninggalkan Niken yang kembali tenggelam dalam dunia fashion-nya. Ini akan jadi misi yang sangat, sangat sulit.

Azril menghabiskan sisa jam pelajaran Fisika dengan melamun. Bukan melamunkan rumus-rumus yang bikin pusing, tapi melamunkan wajah Niken. Dingin, angkuh, tapi entah kenapa justru membuatnya makin penasaran. Pulang sekolah, ia langsung melesat ke markas besarnya: warung kopi Pak Kumis, tempat biasa ia dan kedua sahabatnya, Bima dan Reza, nongkrong.

"Jadi, ceritanya gitu," Azril menutup kisahnya di perpustakaan dengan dramatis, menyesap es teh manisnya. "Dia kayak ratu es. Ngomongnya menusuk. Tapi... gila, cantik banget, Coy."

Bima, si pemikir logis yang selalu pakai kacamata melorot, menyengir. "Sudah kubilang kan? Niken itu beda level. Dia itu es batu berjalan. Kamu mau melelehkan es batu pakai api cemburu?"

"Lagian, cari yang lain saja, Zil," timpal Reza, si playboy kelas kakap yang gampang naksir tapi gampang juga lupa. "Cewek secantik dia, pasti sudah ada yang punya. Atau kalaupun jomblo, sudah ada daftar tunggu sepanjang tol Trans-Jawa."

Azril menggeleng. "Justru itu tantangannya! Semua cowok pasti langsung mundur kalau tahu dia begitu. Tapi entah kenapa, aku malah penasaran."

Bima menghela napas. "Baiklah, karena kamu sahabatku yang otaknya lagi miring gara-gara cinta, aku bantu. Tapi jangan berharap banyak. Niken itu case study yang rumit."

"Menurut risetku," Bima melanjutkan, menggeser kacamatanya, "Niken itu tipikal cewek yang bosan sama cowok-cowok caper. Yang terang-terangan ngejar, yang sok pamer harta, atau yang modus kirim quotes bucin. Dia sudah kenyang."

"Terus aku harus bagaimana?" tanya Azril, matanya berbinar.

Reza tertawa. "Gampang! Kamu nggak usah ngejar. Biar dia yang penasaran."

"Gimana caranya?" Azril bingung.

"Misi Penyelidikan Senyap," sahut Bima, nadanya serius seperti agen rahasia. "Kamu harus tahu rutinitasnya, hobinya, apa yang dia suka dan tidak suka. Tapi jangan sampai ketahuan kalau kamu lagi menyelidiki. Kamu harus jadi bayangan. Datang tanpa jejak, pergi tanpa sisa."

"Betul!" Reza menyambar. "Misalnya nih, kalau dia suka nongkrong di kafe A, kamu nongkrong juga di sana. Tapi jangan samperin! Duduk di pojokan, pura-pura sibuk sama laptop atau buku. Biar dia lihat kalau kamu itu 'ada', tapi nggak 'ngejar'."

Azril mengernyit. "Kayak stalker, dong?"

"Bukan stalker, ini namanya strategi pemasaran diri tak langsung," kilah Reza. "Kamu harus ciptakan aura misterius. Jangan gampang dijangkau. Biar Niken penasaran, 'Siapa sih cowok ini? Kok beda ya?'"

Minggu-minggu berikutnya, hidup Azril berubah jadi seperti agen mata-mata amatiran. Ia mulai sering 'kebetulan' muncul di tempat-tempat yang sering Niken datangi. Di kedai kopi yang minimalis tempat Niken sering terlihat membaca buku, Azril akan duduk di sudut terjauh, pura-pura sibuk dengan sketsa komik atau tugas kuliahnya. Di gym tempat Niken latihan, Azril akan memilih alat yang berlawanan arah, sesekali mencuri pandang lewat pantulan cermin.

Ia bahkan pernah nekat ikut kelas melukis abstract expressionism hanya karena mendengar Niken sempat menyebut ingin mencobanya, padahal Azril sendiri lebih jago menggambar doodle monster. Hasilnya? Lukisan abstraknya malah mirip adonan kue yang tumpah, dan Niken hanya melirik sekilas dengan ekspresi datar tanpa komentar.

"Bagaimana, Tuan Agen 007?" goda Bima suatu sore, melihat Azril lesu setelah 'patroli' seharian.

"Gagal total," desah Azril. "Dia itu kayak tembok. Aku sudah pakai jurus-jurus paling halus, paling misterius, tapi dia nggak ada ekspresi sama sekali. Atau malah nggak sadar kalau aku lagi 'memasarkan diri'?"

"Sabar," kata Reza, menepuk bahu Azril. "Jatuh cinta sama ratu es itu butuh kesabaran tingkat dewa. Ini baru permulaan. Ingat, slow but sure. Jangan sampai dia tahu kamu lagi ngejar. Begitu dia tahu, game over."

Nasihat Reza mungkin terdengar sesat bagi sebagian orang. Tapi bagi Azril yang sudah terlanjur terjerat pesona Niken, itu adalah satu-satunya harapan. Ia harus tetap menyembunyikan perasaannya, bermain di balik layar, sambil menunggu celah yang tepat. Misi Penyelidikan Senyap ini memang melelahkan, tapi rasa penasaran terhadap Niken, dan sedikit ego untuk menaklukkan tantangan, terus membakar semangatnya.

Oke, mari kita lanjutkan cerita "Misi Penakluk Hati Angkuh" dengan Bab 3!

BAB 3: Kebetulan yang Disengaja dan Sebuah Senyuman Tipis

Minggu-minggu berlalu. Misi Penyelidikan Senyap Azril berjalan, bisa dibilang, lancar-lancar saja. Artinya, ia belum ketahuan, tapi juga belum ada kemajuan signifikan. Niken tetaplah Niken, si Ratu Es yang dingin. Azril sudah hapal jadwalnya: jam istirahat di kantin hanya sebentar, selalu duduk di meja paling bersih, dan sering terlihat dengan kelompoknya yang tak kalah populer. Pulang sekolah, ia sering langsung masuk mobil jemputan.

Tapi Azril bukan Azril kalau menyerah begitu saja. Nasihat Reza tentang "kebetulan yang disengaja" terus terngiang. Ia harus menciptakan momen.

Suatu sore, saat semua siswa berhamburan pulang, Azril melihat Niken berjalan sendirian menuju gerbang depan. Tak ada mobil jemputan di sana. Aneh. Biasanya sudah menunggu. Azril segera mengunci pandangan, otaknya berputar cepat. Ini dia kesempatannya!

Ia mempercepat langkah, pura-pura menelepon sambil sesekali melirik Niken dari kejauhan. Niken tampak gelisah, sesekali melihat arlojinya. Pasti jemputannya telat.

Tiba-tiba, dari arah belakang, sebuah sepeda motor melaju kencang, nyaris menyerempet Niken yang sedang menunggu di pinggir jalan. Angin dari motor itu menerbangkan buku-buku di tangan Niken, membuat isinya berhamburan di aspal. Niken terkesiap, raut wajahnya panik. Itu adalah ekspresi yang belum pernah Azril lihat.

Ini dia!

Azril, tanpa pikir panjang, langsung menjatuhkan ponsel pura-puranya, pura-pura terkejut. "Waduh! Bapak-bapak ini bahaya sekali!" teriaknya, memastikan suaranya cukup keras didengar Niken. Ia lalu berjongkok, mulai memunguti buku-buku yang berserakan.

Niken menoleh, wajahnya masih sedikit pucat. "Eh... tidak perlu," katanya, suaranya sedikit gemetar, tak sedingin biasanya. Ia ikut berjongkok, mencoba mengumpulkan buku-bukunya.

"Tidak apa-apa," Azril menjawab ringan, seolah ini adalah kebetulan biasa. Ia mengambil buku fisika yang tebal, buku matematika, dan beberapa novel. Tangannya bergerak cekatan. "Untung saja tidak kena kamu. Motornya ngebut sekali."

Niken hanya mengangguk, masih sedikit linglung. Ketika tangan Azril hendak mengambil sebuah pensil yang jatuh di dekat kaki Niken, jari-jari mereka bersentuhan. Sekejap. Tapi cukup untuk membuat Azril merasakan sengatan listrik kecil. Niken menarik tangannya dengan cepat, sedikit terkesiap.

"Terima kasih," ujar Niken pelan, setelah semua buku kembali terkumpul dan ia memeluknya erat. Matanya menatap Azril. Untuk pertama kalinya, tatapan itu tidak sedingin es, melainkan sedikit... canggung.

"Sama-sama," Azril tersenyum tipis. Ia mencoba terlihat santai, padahal jantungnya berdebar kencang. Ini interaksi terlama mereka, dan yang paling "manusiawi" dari sisi Niken.

Niken mengangguk lagi, lalu berbalik, kembali menunggu jemputannya. Azril berdiri di sana, mengawasinya dari kejauhan, pura-pura mengecek ponselnya yang ia "jatuhkan" tadi.

Beberapa menit kemudian, sebuah mobil hitam mewah tiba. Niken segera masuk. Sebelum mobil itu melaju, Azril melihat Niken sempat melirik ke arahnya. Sebuah lirik singkat, lalu ia menghilang.

Azril tersenyum. Misi Kebetulan yang Disengaja berhasil! Ia memang belum mendapatkan nomor telepon atau akun media sosialnya. Tapi setidaknya, ia berhasil membuat Niken menatapnya tanpa tatapan meremehkan. Bahkan, ada kata "terima kasih" yang keluar dari bibirnya, dan sebuah lirik singkat sebelum pergi. Mungkin, hanya mungkin, Azril telah berhasil membuat retakan kecil di permukaan es sang Ratu.

Senang Anda menyukainya! Mari kita lanjutkan cerita "Misi Penakluk Hati Angkuh" dengan Bab 4.

BAB 4: Tabrakan Tak Terduga dan Secangkir Kopi Pahit

Sejak insiden buku di gerbang sekolah, Azril merasa aura di sekitar Niken sedikit berubah. Bukan berarti Niken jadi ramah, jauh dari itu. Tapi setidaknya, dia tidak lagi sepenuhnya menganggap Azril transparan. Kadang, Azril akan menangkap Niken sekilas meliriknya di koridor, sebelum dengan cepat memalingkan muka. Sebuah kemajuan kecil, tapi cukup untuk membakar semangat Azril.

Suatu siang, saat jam makan siang, Azril sedang buru-buru menuju kantin, pikiran penuh dengan tugas kelompok yang sebentar lagi tenggatnya. Ia membawa secangkir kopi panas yang baru saja ia beli dari coffee shop mini di lobi sekolah. Matanya fokus pada pesan di ponsel, tak menyadari ada seseorang yang berbalik tiba-tiba dari sebuah loker.

BRUKK!

Tabrakan tak terhindarkan. Kopi panas itu tumpah ruah, membasahi seragam orang yang ditabrak Azril. Aroma pahit kopi menyeruak. Azril mendongak, dan matanya membelalak.

Di depannya, dengan seragam putih yang kini bernoda cokelat pekat, adalah Niken.

Wajah Niken langsung memerah, antara kaget dan marah. Ia menatap Azril dengan sorot mata yang bisa membekukan kutub utara. "Apa-apaan ini?!" suaranya meninggi, menarik perhatian beberapa siswa di sekitar.

Azril panik. Ini bukan "kebetulan yang disengaja" yang ia rencanakan! Ini murni bencana. "Astaga, Niken! Maaf! Aku tidak sengaja! Aduh, kena bajumu semua."

Ia segera meraih tisu dari sakunya, mencoba membersihkan noda di seragam Niken, namun tangannya malah memperburuk keadaan, menyebarkan noda kopi lebih luas.

"Berhenti!" Niken menepis tangan Azril. "Sudah cukup! Kau sengaja, ya?"

"Sengaja apa?! Aku tidak lihat kamu!" Azril membela diri, frustrasi. "Sungguh, aku minta maaf. Aku ganti rugi! Berapa harga seragamnya? Atau mau aku cuci?"

Niken mendengus. "Tidak perlu repot. Lihat saja sendiri." Ia menunjuk noda kopi yang kini sudah meresap. "Ini kemeja seragam favoritku!"

Azril menelan ludah. Kemeja favorit? Ya ampun.

"Begini saja," Niken berkata, nadanya kembali dingin, seolah sudah mengendalikan emosinya. "Kau ikut aku. Aku perlu membersihkannya."

Niken berbalik dan berjalan menuju toilet putri. Azril, yang masih kaget dan bingung, hanya bisa mengikutinya seperti anjing kecil yang patuh. Di depan pintu toilet, Niken berhenti.

"Kau tunggu di sini. Jangan coba-coba mengintip," ancamnya, sebelum masuk dan membanting pintu.

Azril bersandar di dinding koridor, mengacak rambutnya frustrasi. Sial! Setelah susah payah membangun kesan 'misterius', sekarang ia malah jadi si cowok ceroboh penumpah kopi. Ini pasti akan jadi bahan tertawaan Bima dan Reza.

Beberapa menit kemudian, Niken keluar. Ia sudah melepas kemeja seragamnya yang bernoda, menyisakan kaus putih polos di dalamnya. Kemeja bernoda itu ia pegang dengan jijik.

"Aku akan minta pihak sekolah memanggil orang tuamu," katanya datar.

Azril langsung melotot. "Jangan! Aduh, jangan begitu dong, Niken. Aku janji aku ganti rugi, deh! Atau... atau aku belikan kopi yang baru? Yang ini rasanya pasti pahit sekali." Ia mencoba melucu, tapi wajah Niken tetap beku.

Niken membuang napas pelan. "Tidak perlu kopi. Kau mau bertanggung jawab?"

"Tentu saja!" Azril mengangguk cepat.

"Kalau begitu," Niken menatapnya lekat. "Pulang sekolah, kau temui aku di lapangan basket. Aku butuh bantuan untuk tugas kimia. Dan kau, sebagai penumpah kopi, wajib membantuku. Setelah itu, baru kita bicarakan ganti rugi seragam ini."

Azril terdiam, mencerna. Tugas kimia? Dengan Niken? Itu bukan ganti rugi, itu semacam... hadiah? Tapi kenapa Niken si Ratu Es tiba-tiba meminta bantuannya? Mungkinkah ini juga jebakan lain?

Niken melihat ekspresi bingung Azril. "Kenapa? Tidak mau?"

"Mau! Mau sekali!" Azril buru-buru mengangguk. "Siap, Niken! Jam berapa?"

Niken tersenyum tipis, sangat tipis, nyaris tak terlihat. Namun, itu cukup untuk membuat jantung Azril melonjak. "Pulang sekolah. Jangan sampai telat. Kalau tidak, aku akan menghubungi orang tuamu."

Ia berbalik, melangkah pergi meninggalkan Azril yang masih berdiri termangu. Secangkir kopi pahit yang tumpah itu ternyata membawa sebuah kesempatan tak terduga. Sebuah pintu kecil, mungkin saja, telah terbuka. Atau mungkin, ini hanya perangkap baru dari Ratu Es.

Senang Anda suka! Mari kita lanjutkan cerita "Misi Penakluk Hati Angkuh" dengan Bab 5.

Sisi Lain Sang Ratu dan Senja yang Berubah

Azril berjalan menuju lapangan basket sore itu dengan perasaan campur aduk. Antara gugup, penasaran, dan sedikit tak percaya. Sejak kapan Ratu Es Niken meminta bantuan, apalagi untuk pelajaran kimia? Ini jelas bukan bagian dari "Misi Penyelidikan Senyap" yang ia rencanakan. Ini adalah wild card yang tak terduga.

Tiba di lapangan, Niken sudah duduk di bangku penonton, dikelilingi buku-buku kimia tebal dan beberapa lembar soal. Ia mengenakan kaus olahraga lengan panjang dan celana training, rambutnya diikat ekor kuda. Penampilannya lebih santai dan polos dari biasanya, nyaris tanpa riasan. Itu membuat Azril merasa sedikit asing sekaligus lebih... dekat.

"Kau lama," Niken langsung menyambut, tanpa basa-basi, namun kali ini nadanya tidak sedingin biasanya. Lebih seperti keluhan biasa.

"Maaf, tadi bantu Pak Satpam beresin alat olahraga," Azril berbohong cepat, mencari alasan. Ia duduk di samping Niken, menjaga jarak yang wajar. "Jadi, bagian mana yang susah?"

Niken menghela napas, lalu mendorong buku ke arah Azril. "Ini. Reaksi redoks. Aku tidak mengerti bagaimana cara menyeimbangkan persamaannya. Otakku rasanya berasap."

Azril melihat soal-soal itu. Reaksi redoks memang rumit, tapi kebetulan itu adalah salah satu materi kesukaannya di kimia. Ia mengambil pensil Niken dan mulai menulis di buku. Dengan sabar, ia menjelaskan konsep dasarnya, bagaimana menentukan bilangan oksidasi, dan cara menyetarakan atom-atomnya.

Niken awalnya hanya diam, sesekali mengangguk. Tapi seiring Azril menjelaskan, ia mulai mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang sebenarnya cerdas, menunjukkan bahwa ia berusaha memahami, bukan sekadar malas.

"Jadi, kalau ini pakai metode setengah reaksi..." Niken bergumam, lalu melanjutkan penjelasan Azril. Azril terkejut. Niken ternyata cepat tanggap, hanya butuh penjelasan yang lebih detail.

Hampir satu jam mereka berkutat dengan soal-soal kimia. Senja mulai turun, mewarnai langit dengan jingga dan ungu. Lapangan basket yang tadinya kosong kini samar-samar terdengar suara anak-anak kecil bermain di kejauhan.

"Oh, aku mengerti sekarang!" seru Niken tiba-tiba, matanya berbinar. Ada senyum tipis, sangat tipis, terbentuk di bibirnya. Senyum yang murni, tanpa ada unsur kesombongan. Itu adalah pemandangan langka yang membuat Azril menahan napas.

"Terima kasih, Azril," kata Niken, menatapnya. Kali ini, ia menyebut nama Azril. Tidak ada lagi panggilan "kau" yang dingin. "Kau penjelas yang bagus. Tidak seperti guru lesku."

Pujian dari Niken? Ini sebuah keajaiban! "Sama-sama. Kimia itu sebenarnya seru kalau tahu kuncinya," jawab Azril, berusaha tetap tenang meskipun hatinya berdesir.

Niken kemudian membereskan buku-bukunya. "Soal seragam... tidak perlu diganti," katanya tiba-tiba. "Aku... sudah lama tidak fokus belajar seperti ini. Lumayan juga."

Azril menatapnya tak percaya. Bebas dari ganti rugi? Dan Niken mengakui bahwa ia terbantu?

"Tapi..." Niken menambahkan, suaranya sedikit pelan. "Lain kali, kalau jalan, jangan sibuk main ponsel. Bahaya." Ada nada kepedulian yang samar di sana.

"Siap, Ratu Es!" Azril tersenyum lebar. Ia lupa diri dan langsung menyesal begitu kata itu keluar.

Niken menoleh cepat. Matanya kembali menajam, dan Azril langsung mengira akan dapat semprotan pedas. Tapi Niken hanya mendengus geli, lalu menyunggingkan senyum tipis lagi, kali ini lebih lama dari sebelumnya.

"Pulang sana. Langit sudah gelap," kata Niken, lalu berbalik dan melangkah pergi.

Azril duduk sendirian di bangku lapangan basket. Senja kini sudah sepenuhnya gelap. Tapi perasaannya justru terang benderang. Ia baru saja melihat sisi lain Niken: si cewek cerdas yang punya kesulitan, yang bisa tersenyum tulus, dan bahkan sedikit peduli. Jebakan kopi pahit itu ternyata membawa Azril pada momen paling berharga dalam Misinya. Malam itu, Azril yakin, langit telah berubah warna.

Senyum tipis Niken di senja itu menghantui pikiran Azril. Bukan senyum sinis yang biasa ia lihat, tapi senyum tulus yang nyaris tak terlukiskan. Itu sebuah kemenangan kecil, tanda bahwa Ratu Es tidak sepenuhnya beku. Namun, hati Azril masih was-was. Apakah itu pertanda baik, atau hanya jebakan yang lebih besar?

Keesokan harinya, kecurigaan Azril terjawab. Di koridor yang ramai, saat Azril sedang berjalan santai bersama Bima dan Reza, sebuah suara tajam memanggil.

"Azril!"

Itu Niken. Ia berdiri di dekat lokernya, dengan tangan bersedekap dan ekspresi yang kembali ke mode dinginnya. Ia tidak tersenyum. Tidak ada lagi sisa-sisa kehangatan kemarin sore.

Bima dan Reza langsung menyenggol Azril, memberi isyarat "hati-hati".

Azril memberanikan diri mendekat. "Ada apa, Niken?"

Niken menyipitkan mata. "Kau janji akan bertanggung jawab soal kemarin, bukan?"

Azril mengernyit. "Soal seragam? Bukannya sudah lunas karena aku bantu kimia?"

Niken mendengus, membuat beberapa siswa yang melintas menoleh. "Kimia itu urusan lain. Soal seragam, itu berbeda." Ia mengambil selembar kertas yang terselip di lokernya, lalu menyerahkannya pada Azril. "Tugas tambahan. Dari Bu Siska. Presentasi seni budaya. Aku butuh partner. Dan karena kau sudah merusak kemeja favoritku, kau adalah partnerku."

Azril menerima kertas itu. Matanya melebar membaca nama tugasnya. Presentasi seni budaya? Itu bukan mata pelajaran yang ia kuasai. Ia lebih akrab dengan grafik dan angka. Dan berpartner dengan Niken? Ini jelas perangkap! Niken pasti tahu Azril tidak ahli di bidang seni.

"Kenapa aku?" tanya Azril, berusaha menutupi kekagetannya. "Ada banyak anak yang lebih jago seni di kelasmu."

"Aku tidak butuh yang jago. Aku butuh yang bertanggung jawab," jawab Niken, nadanya menusuk. "Lagipula, kau kan selalu 'kebetulan' ada di mana-mana. Mungkin keberuntunganmu bisa menular pada tugas ini." Senyum sinis tipis kembali mengancam di sudut bibirnya.

Azril tahu ia baru saja disindir halus. Niken menyadari 'misi penyelidikan senyap'nya! Tapi di sisi lain, ini adalah kesempatan yang jauh lebih besar dari sekadar mengumpulkan buku atau mengajar kimia. Ini adalah kesempatan untuk menghabiskan waktu lebih banyak dengannya, di luar pelajaran, di luar pengawasan ketatnya.

"Baik," kata Azril, berusaha terdengar mantap. "Kapan kita mulai?"

Niken tampak sedikit terkejut dengan kecepatan respon Azril. Ia mungkin mengira Azril akan menolak atau setidaknya bernegosiasi. "Nanti sore, di perpus sekolah. Jam empat." Niken berbalik, seolah pembicaraan sudah selesai. "Jangan sampai telat. Aku benci menunggu."

Azril menatap punggung Niken yang menjauh, lalu melihat kertas tugas di tangannya. Sebuah undangan berbahaya. Sebuah jebakan yang terbuka lebar. Tapi entah kenapa, bukannya takut, jantungnya justru berdebar lebih cepat. Ini bukan hanya tentang mendapatkan nomor telepon lagi. Ini tentang membuktikan pada Niken – dan pada dirinya sendiri – bahwa ia bukan sekadar cowok ceroboh penumpah kopi. Ia adalah Azril, yang tidak akan menyerah pada tantangan, bahkan jika tantangan itu berwujud seorang Ratu Es yang cerdik.

"Gila, Zil. Dia tahu kamu lagi ngincer dia, kan?" Bima berbisik, menyusul Azril.

"Dia sengaja ngajak kamu biar kamu malu sendiri, itu sih," timpal Reza.

Azril hanya menyeringai. "Mungkin. Tapi... ini justru yang aku mau. Pertarungan sungguhan."

Sore itu di perpustakaan, suasana tegang terasa di antara Azril dan Niken. Bukan karena Bu Rina, tapi karena tugas seni budaya. Niken duduk tegak, laptopnya terbuka, menatap Azril dengan ekspresi penuh evaluasi. Ia sudah menyiapkan materi presentasi, semua teori dan analisis karya seni yang rumit.

"Jadi, tugas kita presentasi tentang Dadaisme," kata Niken, menunjuk layar laptopnya. "Aku sudah rangkum sejarah dan konsep utamanya. Sekarang giliranmu. Kau bisa siapkan visual atau... apa pun yang bisa membuat presentasi ini tidak membosankan."

Azril menatap materi di laptop Niken. Otaknya langsung berasap. Dadaisme? Itu aliran seni yang aneh, abstrak, dan... serius. Bagaimana bisa ia, yang bisanya hanya menggambar monster dan karakter komik, membuat visual yang "tidak membosankan" untuk Niken si Ratu Es?

"Oke," kata Azril, berusaha terdengar percaya diri. "Bagaimana kalau kita pakai... sketsa?"

Niken mengangkat alisnya. "Sketsa? Untuk Dadaisme? Kau mau kita dapat nilai C, Azril?"

"Bukan sketsa biasa," Azril tersenyum misterius. "Begini saja, kita bagi tugas. Kau fokus presentasi teorinya, aku siapkan visualnya. Tapi... aku butuh ruang sendiri untuk mengerjakannya."

Niken menatapnya curiga. "Maksudmu, kau tidak mau aku melihatnya sampai presentasi?"

Azril mengangguk. "Itu akan jadi elemen kejutan. Percaya padaku. Aku jamin tidak akan mengecewakan."

"Kejutan atau bencana?" gumam Niken, namun ia akhirnya menyerah. Mungkin karena rasa penasaran, atau karena lelah berdebat. "Baik. Tapi kalau hasilnya jelek, kau yang presentasi sendiri."

Hari presentasi tiba. Jantung Azril berdebar kencang, bukan hanya karena ia akan berhadapan dengan Bu Siska, guru seni yang sangat perfeksionis, tapi karena ia akan menunjukkan "kartu as"-nya pada Niken. Ia sudah berlatih semalaman.

Niken memulai presentasinya dengan sempurna. Ia menjelaskan sejarah Dadaisme, tokoh-tokohnya, dan filosofi di baliknya dengan sangat lancar dan akurat. Para siswa dan Bu Siska tampak terkesan.

"Dan sekarang, untuk visualisasi konsep, teman saya, Azril, akan menjelaskan," kata Niken, menoleh ke Azril dengan ekspresi netral. Dalam hatinya, ia sudah siap jika Azril menampilkan visual yang konyol.

Azril maju. Ia membawa sebuah papan presentasi besar yang tertutup kain hitam. Ia berdiri di sampingnya, mengambil napas dalam-dalam.

"Baik, Bapak Ibu Guru dan teman-teman," Azril memulai, suaranya sedikit bergetar tapi kemudian tegas. "Untuk memahami Dadaisme, kita tidak hanya perlu membaca, tapi juga merasakan absurditasnya. Visualisasi yang saya buat ini, mungkin tidak sepenuhnya merepresentasikan Dadaisme secara harfiah, tapi saya harap bisa menangkap esensinya."

Dengan gerakan cepat, Azril menarik kain hitam itu.

Di sana, di papan besar itu, bukan ada gambar abstrak rumit, melainkan sebuah sketsa karikatur yang besar dan detail. Sketsa itu menggambarkan adegan di perpustakaan pada Bab 1: Azril yang kikuk mengintip dari balik rak, dan Niken dengan ekspresi angkuh yang khas, sedang serius membolak-balik majalah fashion. Di latar belakang, ada gambar kecil Azril yang menumpahkan kopi ke Niken (Bab 4) dengan ekspresi panik. Dan di bagian paling bawah, ada tulisan tangan yang khas dari Azril: "Hidup adalah Absurditas yang Indah."

Seluruh kelas, termasuk Bu Siska, terdiam sejenak. Lalu, pecahlah tawa riuh. Itu bukan tawa mengejek, tapi tawa geli karena kelucuan dan kejujuran gambar itu.

Niken, yang tadinya terdiam kaget, kini wajahnya memerah padam. Ia menatap sketsa itu, lalu beralih ke Azril dengan tatapan tak percaya. Itu adalah gambar dirinya, lengkap dengan ekspresi angkuhnya yang ia kenali dengan baik!

"Ini... ini apa?" bisik Niken, antara marah dan geli.

"Ini adalah Dadaisme versi Azril," kata Azril, tersenyum lebar. "Sebuah refleksi absurditas kehidupan sehari-hari, di mana hal tak terduga terjadi dan kadang membuat kita sadar bahwa hidup itu... ya, lucu juga." Ia menunjuk pada sketsanya. "Saya ingin menunjukkan bahwa di balik teori yang rumit, seni itu bisa ditemukan dalam setiap momen."

Bu Siska tertawa terbahak-bahak. "Azril! Ini... ini benar-benar tidak terduga! Menggambar diri sendiri dan temanmu dalam konteks Dadaisme? Brilliant! Itu memang sangat absurd, tapi juga sangat jujur!"

Azril menoleh ke Niken. Gadis itu masih menatap sketsanya, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda di matanya. Bibirnya melengkung tipis, membentuk sebuah senyum. Bukan senyum sinis atau angkuh, tapi senyum geli yang tulus, bahkan ada sedikit kilatan takjub di sana.

"Kau... tidak bisa dipercaya," bisik Niken, namun di sela bisikannya ada nada yang tidak marah sama sekali.

Kartu As Azril berhasil. Ia tidak hanya berhasil membuat presentasi seni budaya jadi menarik, tapi juga berhasil menarik perhatian Niken dengan cara yang paling tidak terduga, dan tanpa membuatnya besar kepala. Mungkin, bahkan untuk pertama kalinya, ia membuat sang Ratu Es tertawa.

Tawa tulus Niken saat presentasi seni budaya masih terngiang di telinga Azril. Itu adalah melodi langka yang Azril tidak menyangka akan pernah ia dengar. Setelah kejadian itu, atmosfer di antara mereka berubah drastis. Niken memang tidak serta merta menjadi ramah. Ia masih memancarkan aura 'diva'nya, tapi kini ada sedikit 'getaran' lain setiap kali mereka berpapasan. Tatapannya lebih lama, kadang disertai senyum tipis yang begitu cepat hilang seolah Azril salah lihat.

Suatu Sabtu sore, Azril sedang berada di sebuah pameran seni kontemporer di galeri kota, yang sebenarnya ia datangi hanya karena ingin mencari inspirasi sketsa. Ia sedang asyik mengamati sebuah instalasi aneh yang terbuat dari sampah daur ulang, ketika sebuah suara familiar di belakangnya membuat jantungnya berdesir.

"Menurutku, ini adalah representasi nyata dari kekacauan pikiran manusia modern."

Azril menoleh. Itu Niken. Ia berdiri di sampingnya, mengenakan dress kasual namun elegan, rambutnya dikepang samping. Ia terlihat berbeda, lebih santai dan tidak terpaku pada image sekolahnya. Di sampingnya, ada seorang wanita dewasa yang tampak seperti ibunya, sedang mengamati karya seni lain.

Niken terkejut melihat Azril. Mata mereka bertemu. Tidak ada ekspresi angkuh. Hanya sedikit terkejut dan... senyum tipis yang kali ini lebih jelas.

"Azril?" sapa Niken, nadanya terdengar ramah. Itu adalah pertama kalinya ia menyapa duluan di luar konteks terpaksa.

"Niken. Kebetulan sekali," kata Azril, berusaha terdengar alami, padahal dalam hati ia berteriak kemenangan. Ini memang kebetulan murni, bukan yang disengaja Azril.

"Kau juga suka seni?" tanya Niken, alisnya terangkat. Ada nada penasaran.

"Eh, sedikit. Aku suka menggambar. Iseng-iseng," jawab Azril. Ia merasa canggung mengakui hobinya setelah kejadian presentasi kemarin.

Niken tersenyum lebih lebar. "Kau memang punya cara pandang yang... unik. Presentasimu kemarin, jujur, membuatku berpikir lagi soal Dadaisme."

Pujian dari Niken! Azril merasa dadanya menghangat. Ini bukan hanya formalitas. Terlihat dari cara Niken memandangnya.

Obrolan singkat itu berlanjut. Mereka mulai membahas beberapa karya seni di pameran. Niken menunjukkan pengetahuannya yang luas tentang sejarah seni, namun juga mendengarkan perspektif Azril yang lebih 'jalanan' dan spontan. Ada keseruan baru dalam berdiskusi dengannya, sebuah kesenangan yang Azril tak pernah duga.

"Aku tidak tahu kau punya sisi seperti ini," kata Azril jujur.

Niken menghela napas pelan, matanya menerawang. "Orang-orang hanya melihat apa yang ingin mereka lihat. Atau apa yang sudah mereka dengar dari orang lain." Ada nada sedih yang samar.

Melihat momen yang pas, Azril memberanikan diri. "Aku... aku senang bisa ngobrol denganmu seperti ini."

Niken menoleh padanya, senyumnya kembali. "Aku juga. Tidak ada yang pernah berani mengajakku berdebat soal seni seperti ini." Ia jeda sebentar, lalu, dengan gerakan yang tiba-tiba, ia merogoh tas tangannya. "Ini, nomor teleponku. Kalau kau butuh teman diskusi seni lagi."

Jantung Azril berdegup kencang. Ia nyaris menjatuhkan ponselnya. Nomor telepon? Dari Niken? Tanpa perlu usaha keras? Misi yang ia kira akan membutuhkan strategi rumit kini terwujud di tengah pameran seni.

"Terima kasih," Azril mencoba menahan senyum lebar yang ingin meledak di wajahnya.

"Jangan berpikir yang macam-macam," kata Niken, kembali ke mode 'Ratu Es'nya, namun kali ini dengan nada main-main. "Ini hanya untuk diskusi seni. Dan... mungkin kalau kau butuh bantuan pelajaran lagi."

Azril hanya mengangguk, menyimpan nomor itu dengan cepat. Pertemuan di luar lingkaran sekolah, di tengah karya seni, telah mengubah segalanya. Bisikan kehangatan dari seorang Niken perlahan mulai terdengar. Misinya belum selesai, tapi kini ia tahu, hati Ratu Es itu tidaklah sebeku yang ia kira.

Sejak insiden di galeri seni, Azril dan Niken mulai sering bertukar pesan. Awalnya, memang seputar seni atau pelajaran. Tapi perlahan, percakapan melebar ke hal-hal sepele, musik, film, dan bahkan lelucon receh. Azril menemukan bahwa Niken punya selera humor yang bagus dan bisa tertawa lepas di balik layar, sesuatu yang tak pernah ia tunjukkan di sekolah.

Namun, kedekatan baru ini tidak luput dari perhatian. Khususnya perhatian dari Kevin, ketua OSIS yang tampan dan populer, yang terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Niken. Kevin selalu menjadi "saingan" tak terlihat Azril, karena dia adalah tipe ideal banyak gadis, dan tentu saja, dia juga sering mencoba mendekati Niken.

Suatu siang, saat jam istirahat, Azril melihat Kevin menghampiri meja Niken di kantin. Kevin tersenyum menawan, menyerahkan sekotak jus dan mulai mengobrol akrab. Niken, seperti biasa, tidak menunjukkan ekspresi berlebihan, tapi ia menerima jus itu dan sesekali mengangguk.

Dari kejauhan, Azril merasakan api cemburu yang tiba-tiba menyala di dadanya. Ia tidak pernah cemburu sebelumnya, ini perasaan baru yang mengganggu. Ia tahu Niken adalah target banyak cowok, tapi setelah semua usaha dan momen yang mereka lalui, melihat Kevin begitu dekat dengan Niken membuatnya gelisah.

"Cemburu, ya?" suara Bima muncul di sampingnya, diikuti tawa Reza.

Azril mendengus. "Siapa yang cemburu? Aku cuma... khawatir dia dimodusin."

"Khawatir atau cacing di perutmu sedang demo?" goda Reza. "Sudahlah, Zil. Kalau kamu suka, maju saja. Jangan cuma jadi bayangan."

Malamnya, Azril nekat mengirim pesan pada Niken.Azril: Tadi di kantin, diajak ngobrol sama Kevin, ya?

Beberapa menit berlalu. Azril menahan napas. Takut Niken akan menganggapnya posesif atau mengabaikannya. Akhirnya, balasan datang:Niken: Kenapa? Cemburu? Ada emotikon menjulurkan lidah di akhir pesan.

Azril terdiam. Niken tahu! Dan dia menggodanya. Ini adalah kemajuan yang luar biasa.Azril: Mungkin. Kenapa tidak? Azril membalas dengan berani, mencoba mengubah kelemahan jadi kekuatan.

Niken: Jangan khawatir. Dia cuma minta tolong soal acara sekolah.Niken: Tapi kau juga kan tadi melihatku di kantin. Kenapa tidak menghampiri?Azril: Aku kan sudah jadi bayangan. Nanti aku ganggu kalian.Niken: Dasar aneh. Kali ini, emotikon tersenyum muncul.

Azril tersenyum lega. Kekhawatiran cemburunya ternyata justru membuka percakapan yang lebih jujur. Di balik layar ponsel, Niken lebih ekspresif, lebih terbuka. Momen di balik layar ini terasa lebih intim daripada tatap muka di sekolah yang penuh gengsi. Azril tahu, hatinya sudah jatuh terlalu dalam, dan ia siap untuk melangkah maju, apapun risikonya.

Beberapa hari setelah percakapan chat itu, Azril merasa hubungannya dengan Niken semakin akrab. Mereka tidak lagi hanya bicara soal tugas atau seni. Niken mulai curhat tentang tekanan orang tuanya yang selalu menuntutnya sempurna, atau rasa lelahnya menghadapi gosip di sekolah. Azril mendengarkan dengan sabar, kadang memberi saran, kadang hanya menjadi pendengar setia.

Suatu sore, Azril melihat Niken duduk sendirian di taman sekolah, jauh dari keramaian, wajahnya terlihat sangat murung. Rambutnya yang biasanya rapi kini sedikit acak-acakan, dan matanya tampak sembap.

Azril mendekat pelan. "Niken? Kau baik-baik saja?"

Niken terlonjak, kaget. Ia cepat-cepat menyeka matanya. "Azril? Kenapa kau di sini?" Suaranya serak.

"Aku kebetulan lewat," kata Azril, memecah keheningan. "Kau menangis?"

Niken menunduk. "Tidak. Cuma kelilipan."

Azril duduk di sampingnya, tapi tidak memaksanya bicara. Ia hanya diam, menunggu. Ia tahu Niken tidak akan membuka diri jika dipaksa.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan, hanya ada suara angin menggerakkan dedaunan. Akhirnya, Niken angkat bicara, suaranya pelan dan bergetar.

"Aku... aku bertengkar dengan Mama." Ia memeluk lututnya erat. "Aku dapat nilai B di ujian kimia. Padahal aku sudah belajar keras. Mama bilang aku mengecewakan. Mama bilang, aku harus selalu yang terbaik. Kalau tidak, aku tidak akan bisa mencapai apa-apa."

Azril menatapnya. Inikah alasan di balik sikap angkuh Niken? Tekanan untuk selalu sempurna, untuk selalu menjadi yang terbaik, hingga ia membangun tembok pertahanan agar tidak terlihat lemah atau gagal?

"Niken," Azril berkata lembut. "Nilai itu cuma angka. Itu tidak mendefinisikan siapa dirimu."

"Kau tidak mengerti!" Niken tiba-tiba berteriak, air mata kembali mengalir di pipinya. "Sejak kecil, aku selalu dituntut. Harus jadi juara kelas, harus paling cantik, harus paling populer. Kalau tidak, Mama akan kecewa. Makanya aku selalu berusaha tampil sempurna, selalu dingin, supaya tidak ada yang bisa melihat kalau aku rapuh. Kalau aku takut gagal."

Azril merasa hatinya perih. Ratu Es yang selama ini ia kira sombong, ternyata hanya seorang gadis yang ketakutan dan terbebani ekspektasi. Ia melihat kerapuhan yang selama ini disembunyikan Niken di balik benteng kesombongan.

Tanpa banyak bicara, Azril menggeser tubuhnya mendekat. Ia tidak mengucapkan janji-janji klise atau nasihat kosong. Ia hanya mengulurkan tangannya, dan perlahan, memeluk Niken. Pelukan itu lembut, tapi tegas. Memberikan kenyamanan tanpa menghakimi.

Niken awalnya tegang, tapi perlahan, ia membalas pelukan Azril, menenggelamkan wajahnya di bahu Azril, isakannya semakin keras. Azril mengusap punggungnya pelan.

"Kau tidak sendirian, Niken," bisik Azril. "Tidak apa-apa kalau tidak sempurna. Tidak apa-apa kalau kadang menangis. Aku di sini."

Pelukan hangat itu berlangsung cukup lama, di bawah langit senja yang mulai gelap. Azril tahu, di momen itu, mereka telah melintasi batas dari sekadar teman biasa. Ia telah melihat kebenaran tersembunyi di balik topeng Ratu Es, dan hatinya semakin yakin bahwa ia ingin menjadi tempat aman bagi Niken.

Malam setelah kejadian di taman, Azril tidak bisa tidur. Memeluk Niken, merasakan kerapuhannya, telah mengubah segalanya. Misi "penakluk hati angkuh" kini tidak lagi hanya tentang Azril, tapi tentang Niken, tentang membantunya merasa aman untuk menjadi dirinya sendiri.

Esoknya di sekolah, Niken tampak lebih tenang, meskipun ada sedikit semburat merah di pipinya setiap kali matanya bertemu mata Azril. Ia tidak membahas kejadian kemarin. Mereka berbicara seperti biasa, tentang tugas dan rencana kegiatan sekolah. Tapi ada perbedaan yang terasa, sebuah keintiman yang tak terucap.

Saat pulang sekolah, Azril melihat Niken menunggu jemputannya. Ini adalah momen yang tepat.

"Niken," panggil Azril, nadanya mantap.

Niken menoleh. "Ya?"

"Aku... aku harus bilang sesuatu," kata Azril. Ia mengambil napas dalam-dalam, menatap lurus ke mata Niken. "Aku suka kamu."

Tidak ada basa-basi, tidak ada permainan, tidak ada strategi. Murni kejujuran.

Niken terdiam. Matanya membulat, ekspresinya sulit dibaca. Semua ketegasan dan keangkuhannya lenyap, digantikan oleh keterkejutan. "A-apa?"

"Aku suka kamu, Niken," ulang Azril, suaranya lebih jelas. "Bukan karena kamu populer, atau karena kamu cantik. Tapi karena aku melihat bagaimana kamu berusaha keras, bagaimana kamu berjuang, dan bagaimana kamu menyembunyikan kerapuhanmu di balik semua itu."

Niken menunduk, pipinya memerah. Ia tidak menjawab, hanya memilin ujung seragamnya.

Azril melanjutkan, "Aku tahu kamu mungkin menganggapku aneh, atau mungkin ini terlalu cepat. Tapi aku tidak bisa pura-pura lagi. Aku mau kamu tahu, aku ada untukmu. Aku mau kamu tahu, tidak apa-apa untuk tidak selalu sempurna. Dan aku mau... aku mau mencoba bersama kamu, Niken."

Keheningan menyelimuti mereka. Angin berembus pelan, menerbangkan beberapa helai rambut Niken. Jantung Azril berdebar sangat kencang, menanti keputusan Ratu Es.

Akhirnya, Niken mendongak. Matanya berkaca-kaca, tapi ada senyum tipis di bibirnya. Sebuah senyum yang penuh emosi, campuran rasa lega dan sedikit takut.

"Kau... tidak akan bosan denganku kalau aku tidak sempurna?" tanya Niken pelan, suaranya nyaris berbisik.

"Tidak akan," jawab Azril tanpa ragu. "Justru itu yang membuatmu... istimewa."

Niken menarik napas panjang. "Baiklah. Aku... aku mau."

Sebuah beban berat terangkat dari pundak Azril. Kata "Aku mau" itu seperti melodi terindah. Ia ingin melompat dan berteriak kegirangan, tapi ia menahannya.

Namun, Niken menambahkan, "Tapi... jangan kaget kalau kadang aku masih balik jadi Ratu Es. Itu sudah kebiasaan." Ada nada main-main di sana. "Dan kau... jangan terlalu 'ngejar' juga. Aku benci itu."

Azril tersenyum. "Siap, Ratu Es. Tapi kurasa, kau sudah tidak terlalu 'es' lagi."

Tantangan baru telah dimulai. Pengakuan telah dibuat. Ini bukan lagi misi penaklukan, melainkan sebuah perjalanan untuk memahami dan menerima. Azril tahu, Niken masih memiliki dinding-dinding yang harus dirobohkan, dan ia siap untuk itu.

Hubungan Azril dan Niken perlahan tapi pasti mulai terbentuk. Mereka tidak langsung menjadi pasangan yang selalu bergandengan tangan atau mengumbar kemesraan di depan umum. Niken masih menjaga jarak tertentu, terutama di sekolah. Namun, di balik layar, melalui chat atau saat mereka "kebetulan" bertemu di luar, mereka semakin dekat.

Azril mulai merasakan kehangatan yang berbeda dari Niken. Gadis itu sesekali akan tersenyum tulus saat Azril melontarkan lelucon, atau bercerita tentang hari-harinya dengan lebih jujur. Niken bahkan mulai meminta pendapat Azril tentang hal-hal yang ia pedulikan, seperti pilihan warna untuk proyek seni atau lagu baru yang ia dengarkan. Ini adalah tanda ia mulai menurunkan bentengnya.

Namun, "Ratu Es" dalam diri Niken tidak sepenuhnya hilang. Suatu sore, mereka berencana belajar bersama di perpustakaan. Azril datang lebih awal, sudah menyiapkan buku-buku. Tak lama, Niken datang, namun raut wajahnya tampak masam.

"Niken, ada apa?" tanya Azril.

"Tidak ada," jawab Niken singkat, lalu duduk.

Azril mencoba mengajak bicara, tapi Niken hanya membalas dengan satu atau dua kata. Ia sibuk dengan ponselnya, dan Azril bisa melihat ia sedang membaca komentar-komentar di media sosial.

"Kenapa? Ada masalah?" Azril mencoba lagi, nadanya lembut.

Tiba-tiba, Niken membanting ponselnya di meja, membuat Azril terlonjak. "Mereka itu kenapa sih?! Bilang aku cari perhatian, sok cantik, cuma bisa pamer!" Suaranya sedikit meninggi. Itu adalah komentar-komentar dari akun-akun anonim di media sosial.

Azril menghela napas. Ini adalah badai kecil yang sering terjadi. Niken, dengan semua popularitas dan keangkuhannya, juga menjadi target para haters di dunia maya. Dan ketika kritik itu datang, sisi rapuhnya muncul, seringkali dalam bentuk amarah.

"Niken, tidak perlu didengarkan," kata Azril. "Mereka cuma iri."

"Kau tidak mengerti!" Niken balas membentak. "Aku sudah berusaha keras untuk tidak peduli, tapi kadang itu menyakitkan! Aku capek harus selalu sempurna, capek selalu dihakimi!" Air matanya mulai menggenang.

Azril tahu, ini bukan tentang komentar di media sosial semata. Ini adalah akumulasi dari tekanan yang ia rasakan sepanjang hidupnya. Azril diam sejenak, lalu meraih tangan Niken di atas meja.

"Aku memang tidak mengerti sepenuhnya rasanya jadi kamu, Niken. Tapi aku tahu, mereka yang menulis itu tidak kenal kamu. Mereka tidak tahu bagaimana kamu sebenarnya, bagaimana kamu berjuang, dan bagaimana hatimu selembut itu di balik semua ini," kata Azril tulus, sambil mengusap punggung tangan Niken. "Aku tahu kamu, Niken. Itu yang penting."

Mata Niken berkaca-kaca, menatap Azril. Lalu, perlahan, kemarahan di wajahnya mereda, digantikan oleh rasa lega. Ia menarik tangannya, tapi kemudian meraih tangan Azril lagi, menggenggamnya erat.

"Maaf," bisik Niken. "Aku cuma... kadang aku tidak tahu harus bagaimana."

"Tidak apa-apa," Azril tersenyum. "Kita belajar bersama. Tidak ada yang sempurna."

Badai kecil itu mereda. Azril sadar, membangun jembatan ke hati Niken adalah proses yang berkelanjutan. Ada banyak rintangan internal dan eksternal. Namun, setiap kali Niken menunjukkan kerapuhannya dan Azril bisa ada untuknya, jembatan itu semakin kokoh.

Musim liburan tiba, dan itu berarti Azril dan Niken harus menghadapi ujian baru: jarak. Keluarga Niken berencana berlibur ke luar kota selama dua minggu. Bagi Azril, dua minggu tanpa melihat Niken, tanpa bisa membaca ekspresi wajahnya, terasa sangat berat.

Awalnya, komunikasi mereka berjalan lancar. Pesan-pesan saling berbalas, video call singkat sebelum tidur. Namun, setelah beberapa hari, Niken menjadi lebih sulit dihubungi. Pesannya kadang dibalas lama, atau hanya dengan satu kata. Video call seringkali dibatalkan karena "sinyal jelek" atau "sibuk".

Kekhawatiran mulai merayapi hati Azril. Apakah Niken kembali ke mode angkuhnya? Apakah ia bosan dengannya? Pertanyaan-pertanyaan itu menggerogoti pikiran Azril. Ia menceritakan kegelisahannya pada Bima dan Reza.

"Sudah kuduga," kata Reza, "cewek secantik Niken, dua minggu di luar kota, pasti banyak yang dekati."

Bima, meskipun lebih bijak, juga tidak bisa memberikan jaminan. "Mungkin dia butuh ruang, Zil. Atau memang lagi sibuk."

Azril mencoba bersabar, tapi keraguan itu terus tumbuh. Ia bahkan mencoba mengirim pesan lucu, atau bertanya soal pameran seni, tapi balasan Niken terasa hambar.

Malam itu, Azril sedang bersiap tidur ketika ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi video dari Niken. Ia buru-buru membukanya.

Video itu diambil dalam mode selfie. Wajah Niken terlihat lelah, tanpa riasan. Ia duduk di sebuah kamar hotel yang tampak asing.

"Hai, Azril," suara Niken di video terdengar pelan. "Maaf kalau aku jarang balas atau sulit dihubungi. Sebenarnya... aku lagi kurang enak badan. Aku sakit demam."

Jantung Azril mencelos. Bodoh sekali dia sudah berpikiran buruk!

"Dan... aku tidak mau kau melihatku jelek seperti ini," Niken melanjutkan, ada sedikit senyum kecut. "Aku tahu kedengarannya konyol. Tapi aku terbiasa orang melihatku sempurna. Dan kalau aku sakit, aku merasa... lemah. Aku tidak mau kau melihat sisi itu."

Air mata Niken mulai menggenang di video. "Aku tahu itu bodoh. Kau sudah melihatku menangis, kau tahu aku tidak sempurna. Tapi entah kenapa, saat jauh begini, rasanya sulit untuk tidak menjaga image itu."

Azril melihat Niken menghela napas, lalu tersenyum tipis, kali ini senyum yang penuh kerentanan. "Tapi aku merindukanmu, Azril. Aku merindukan obrolan kita, dan aku merindukanmu yang selalu membuatku merasa nyaman jadi diriku sendiri."

Video itu berakhir. Azril terdiam. Rasa cemburu dan kekhawatiran yang ia rasakan tadi malam lenyap, digantikan oleh rasa bersalah dan haru. Niken, di tengah kerapuhannya, telah mengiriminya video yang paling jujur. Itu adalah bukti bahwa dia sudah benar-benar membuka diri padanya.

Azril segera menelepon Niken. Panggilan itu langsung tersambung.

"Niken?"

"Azril..." suara Niken terdengar lemah.

"Bodoh," Azril berkata, tapi ada tawa dalam suaranya. "Kenapa tidak bilang kalau sakit? Aku tidak peduli kamu jelek atau apa. Yang penting kamu baik-baik saja."

Percakapan itu berlangsung hingga larut malam. Jarak mungkin menjadi ujian, tapi kejujuran dan kepercayaan yang terbangun di antara mereka ternyata lebih kuat. Azril tahu, ia tidak lagi mengejar Ratu Es. Ia sedang membangun sebuah hubungan nyata dengan Niken, gadis yang perlahan menunjukkan semua lapisannya, termasuk kerapuhannya.

Liburan berakhir, dan Niken kembali. Azril melihatnya di gerbang sekolah. Niken tidak berlari menghampiri, tapi senyumnya lebih lebar dari biasanya. Aura angkuhnya kini terasa seperti selimut tipis yang nyaman, bukan lagi dinding tebal. Mereka menghabiskan waktu bersama, mengejar ketertinggalan cerita, dan Azril menyadari bahwa kerinduan selama dua minggu itu telah membuat mereka semakin dekat.

Suatu malam, Azril merencanakan kejutan. Ia mengajak Niken ke sebuah bukit kecil di pinggiran kota yang jarang orang tahu, tempat ia sering mencari inspirasi sketsa. Ia berjanji akan menunjukkan sesuatu yang indah.

Niken datang dengan sedikit kerutan di dahi, penasaran. "Mau ke mana sih, Azril? Jangan aneh-aneh ya."

"Percaya padaku," kata Azril, tersenyum misterius.

Ketika mereka tiba di puncak bukit, Niken terkesiap. Langit malam itu sangat cerah, bertaburan jutaan bintang yang berkelip. Pemandangan kota di bawah terlihat seperti permadani cahaya.

"Wow," bisik Niken, matanya berbinar. "Ini... indah sekali."

Azril duduk di sampingnya. "Aku suka ke sini kalau lagi suntuk. Merasa kecil di bawah langit luas itu kadang bikin masalah terasa nggak terlalu besar."

Mereka duduk berdua dalam keheningan yang nyaman, menikmati pemandangan dan gemerlap bintang. Ini adalah salah satu momen yang paling ia hargai: Niken yang sepenuhnya melepaskan penjagaannya, menikmati keindahan tanpa perlu menjaga image.

Tiba-tiba, Azril merogoh sakunya. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil beludru.

Niken menoleh, wajahnya bingung. "Apa ini?"

Azril membuka kotak itu. Di dalamnya, terbaring sebuah kalung perak dengan liontin kecil berbentuk pensil sketsa. Itu adalah liontin sederhana, tapi sangat Azril.

"Ini... ini bukan cincin pertunangan," Azril terkekeh canggung. "Ini cuma... tanda. Tanda kalau aku suka semua sisimu, Niken. Sisi yang populer, sisi yang pintar, sisi yang takut, sisi yang rapuh, dan sisi yang suka seni. Aku suka kamu, Niken. Dan aku serius dengan perasaanku."

Niken menatap kalung itu, lalu beralih ke Azril. Matanya berkaca-kaca. Ia tidak pernah menerima hadiah yang begitu tulus dan sederhana namun bermakna.

"Kau... serius?" bisik Niken.

"Sangat serius," Azril mengangguk. "Aku tidak tahu ke depannya akan bagaimana. Tapi aku mau mencoba untuk selalu ada di sampingmu, Niken. Untuk membuatmu merasa aman jadi dirimu sendiri. Bukan cuma Ratu Es, tapi juga Niken, gadis yang kucintai."

Air mata Niken menetes. Ia meraih kalung itu, lalu melingkarkannya di lehernya. Azril membantunya mengaitkan penguncinya.

Kemudian, tanpa diduga, Niken memeluk Azril erat. Sangat erat. "Terima kasih, Azril. Aku... aku juga mencintaimu."

Malam itu, di bawah jutaan bintang, Azril tidak hanya menaklukkan hati seorang Ratu Es. Ia telah menemukan sebuah hati yang rapuh namun indah, dan berjanji akan menjaganya. Itu adalah pengakuan tulus, sebuah janji, dan permulaan yang manis di bawah langit yang tak berbatas.

Hari-hari berlalu menjadi bulan, bulan menjadi tahun. Hubungan Azril dan Niken semakin kuat. Azril tetap menjadi Azril yang apa adanya, dengan segala kekonyolan dan ketulusannya. Sementara Niken, ia memang tidak sepenuhnya menghilangkan aura 'diva'nya, tapi kini itu adalah bagian dari pesonanya, bukan lagi sebuah perisai. Ia lebih sering tersenyum, lebih terbuka pada teman-teman Azril, dan bahkan kadang terlihat menggambar doodle lucu di buku catatan Azril.

Tekanan dari orang tuanya masih ada, tapi Niken belajar menghadapinya dengan lebih baik. Azril adalah pendukung terbesarnya, selalu mengingatkan bahwa nilai atau prestasi tidak mendefinisikan dirinya. Niken mulai menemukan kebahagiaan di luar ekspektasi orang lain, mengejar hobinya, dan menikmati hidup dengan lebih bebas. Ia bahkan sesekali memposting sketsa Azril di media sosialnya, lengkap dengan caption humoris tentang "pacar aneh yang jago gambar monster".

Hubungan mereka tidak selalu mulus. Ada pertengkaran kecil, salah paham, dan momen di mana Niken kembali ke mode 'dingin'nya. Namun, kini Azril tahu bagaimana menghadapi itu. Ia akan membiarkan Niken sejenak, lalu mendekat dengan secangkir kopi hangat (tanpa tumpah), atau sebuah lelucon konyol yang selalu berhasil membuat Niken tersenyum.

Suatu hari, di sebuah acara reuni sekolah, Azril melihat Niken tertawa lepas bersama teman-temannya. Rambutnya berkibar, matanya berbinar, dan senyumnya cerah. Seorang teman lama yang dulu pernah mencoba mendekati Niken, berbisik pada Azril, "Gila, Niken kok sekarang beda banget ya? Dulu kan angkuh banget."

Azril hanya tersenyum. "Dia memang selalu begitu," jawab Azril. "Hanya saja, kau belum melihatnya dari dekat."

Baginya, Niken yang sekarang adalah versi paling sempurna. Bukan karena ia telah kehilangan keangkuhannya, tapi karena ia telah menemukan keberanian untuk menjadi dirinya sendiri, dengan segala kerapuhan dan keindahannya. Azril tahu, Misinya telah berhasil. Ia tidak hanya menaklukkan hati seorang Ratu Es, tapi ia telah membantu seorang gadis untuk menemukan kebahagiaan sejati. Dan itu adalah pencapaian terbesar dalam hidupnya

TAMAT