Langit sore di Desa Auring dipenuhi semburat jingga keemasan. Burung-burung mulai kembali ke sarang, dan bayangan panjang pohon-pohon tua melintang di jalanan tanah yang mulai lengang. Di ujung desa, seorang pemuda bernama Elan duduk di bawah pohon mahoni raksasa, menatap kosong ke arah cakrawala.
"Cahaya itu tidak pernah kembali," gumamnya.
Sejak kecil, Elan sering bermimpi tentang sinar putih menyilaukan yang menghanguskan kegelapan. Dalam mimpi itu, dia berdiri sendirian di tengah medan perang, tubuhnya bersinar terang seperti bintang, sementara sosok-sosok bayangan mencoba menelannya hidup-hidup. Namun ketika dia bangun, semuanya lenyap, hanya meninggalkan rasa kehilangan yang aneh.
Desa Auring, meski damai, selalu menyimpan rahasia. Tidak ada yang tahu dari mana Elan berasal. Ia ditemukan di hutan, menangis sendirian di bawah hujan deras, ketika usianya baru lima tahun. Para tetua bilang ia adalah "anak langit yang jatuh". Tapi tak ada yang tahu apa artinya itu.
"ELAN!"
Suara itu membuyarkan lamunannya. Seorang gadis mendekat, dengan langkah cepat dan nafas tersengal. Namanya Mira—sahabatnya sejak kecil.
"Kamu harus ke Balai Desa. Ada orang aneh yang mencari... pewaris cahaya," katanya terengah.
Elan menegakkan tubuhnya. Jantungnya berdebar tak wajar.
"Pewaris cahaya?" ulangnya.
Mira mengangguk. "Orangnya memakai jubah putih, matanya bersinar... dan dia menyebut nama kamu."
Elan merasa dunia di sekelilingnya berhenti sejenak. Suara angin menghilang, dan langit mendadak terasa berat.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa—sesuatu yang telah lama hilang… akhirnya datang menjemputnya.