"Ketika satu hati berdetak, dunia bisa diam. Tapi ketika banyak hati beresonansi, sejarah menulis ulang dirinya sendiri."
Malam pertama sejak mereka kembali dari Menara Eos tidak diisi dengan pesta kemenangan. Tidak juga dengan pidato kebesaran. Justru sunyi, penuh dengan desahan napas panjang dan tatapan kosong ke langit malam.
Roky berdiri di tepi tebing barat, memandangi dataran luas tempat Lembah Bayangan berada. Api unggun berkedip di kejauhan, pertanda pasukan Koalisi telah berkumpul. Sementara itu, Hati Dunia, kini terbungkus dalam segel etherial, bergetar lemah di sisinya—seolah menyanyikan lagu yang tak bisa didengar, tapi terasa di dada.
Di belakangnya, Teya dan Garron datang menyusul, diiringi Del dan Shivra. Mereka tak bicara lama, hanya duduk bersama dalam hening. Kebersamaan yang sunyi itu lebih jujur daripada ribuan pidato.
"Faenil…" gumam Del pelan, "aku masih merasa dia akan berjalan dari balik pohon dan ikut duduk di sini."
"Dia ikut," balas Shivra, menutup matanya. "Dalam gema yang terus berdetak di dalam kita."
Roky mengangguk. Sejak membawa pulang resonansi dari Hati Dunia, ia—dan semua anggota tim—merasakan sesuatu yang aneh. Keterhubungan. Seolah mereka bisa saling memahami meski tak berbicara. Bukan membaca pikiran, tapi berbagi emosi murni.
Seperti nada dalam simfoni yang berbeda alat musik, tapi satu lagu.
Gema yang Tak Bisa Disangkal
Ketika fajar datang, resonansi itu semakin menguat. Saat pasukan Koalisi mulai bersiap untuk berangkat menuju Lembah Bayangan, suara getaran merambat ke seluruh wilayah: lembut, dalam, nyaris seperti bisikan dari dasar bumi.
Awalnya mereka mengira itu gempa. Tapi ketika batu-batu kecil mulai melayang ringan, dan Etherion dalam senjata serta peralatan mereka mulai berdenyut lembut, semua tahu: ini bukan gejala geologis. Ini gema Hati Dunia.
"Lihat…" ujar Teya sambil menunjuk langit.
Awan membentuk pola melingkar, seperti pusaran yang sangat perlahan bergerak, menyatu ke satu titik di cakrawala.
Roky menutup matanya. Dan untuk sekejap… ia merasakan dunia berbicara.
Ia melihat anak-anak dari ras manusia dan Caelis bermain bersama di sebuah desa perbatasan. Ia melihat seorang pemuka agama Korr menangis sambil mencuci luka seorang pengungsi Ras Kesepuluh. Ia melihat pohon Etherion tua, yang selama ini membisu, kini memancarkan bunga-bunga kecil berpendar.
Bukan ramalan. Tapi potensi. Dunia merespons.
Pertemuan di Perkemahan Koalisi
Jenderal Kaevan, seorang pemimpin tua dari ras manusia, berdiri di depan peta perang. Wajahnya keriput, tapi sorot matanya tajam.
"Pasukan fanatik sudah menempati Lembah Bayangan. Mereka mempersenjatai jalur Etherion di bawah tanah sebagai jebakan. Jumlah mereka kecil, tapi posisi mereka kuat."
Beberapa pemimpin ras tampak gugup. Yang lain, seperti biasa, siap perang.
Tapi suasana berubah ketika Roky dan tim masuk, membawa Hati Dunia.
Semua langsung berdiri. Sebagian menarik napas tajam. Sebagian membungkuk.
"Ini…" Kaevan nyaris kehilangan kata-kata, "...benda itu… nyata?"
"Bukan hanya nyata," jawab Garron. "Ia bicara pada kita semua. Dalam cara yang tak bisa dibantah."
Roky maju. Ia meletakkan Hati Dunia di tengah meja taktis. Cahayanya lembut, tapi setiap orang merasakannya menembus dada mereka. Mata-mata yang keras mulai berair. Hati-hati yang bimbang mulai tenang.
"Apa maksudmu membawa ini ke rapat perang?" tanya Kaevan.
"Agar kita tahu siapa musuh sebenarnya," jawab Roky. "Dan siapa yang masih bisa diselamatkan."
Ide Gila: Resonansi sebagai Senjata Damai
Teya dan Shivra menjelaskan teori: Hati Dunia tidak harus digunakan untuk kekuatan destruktif. Ia bisa menjadi resonator, menghubungkan emosi di medan perang, memperlihatkan kepada para prajurit—baik Koalisi maupun lawan—gema batin mereka sendiri.
"Mereka yang menyerang karena benci," kata Shivra, "akan mendengar tangis anak mereka sendiri yang ketakutan. Mereka yang berperang demi balas dendam… akan melihat wajah ibu mereka."
"Resonansi ini," ujar Teya, "bisa mematahkan kebencian tanpa darah."
Beberapa jenderal tertawa meremehkan. Tapi yang lain… terdiam. Mereka ingat wajah teman, pasangan, anak, yang hilang karena perang panjang antar-ras ini.
Kaevan mengepalkan tangan. "Kalau kita bisa selamatkan seribu nyawa tanpa pedang… Aku akan mencoba."
Resonansi Pertama: Uji Coba di Desa Batasan
Sebelum menerapkannya di medan perang, mereka menguji di desa kecil yang baru saja ditinggalkan oleh kelompok fanatik. Beberapa warga masih trauma, sebagian masih menyimpan amarah.
Roky membawa Hati Dunia ke pusat desa, meletakkannya di altar tua.
Resonansi dilepaskan.
Tidak ada ledakan. Tidak ada cahaya menyilaukan.
Hanya… keheningan.
Lalu, satu persatu warga mulai menangis. Beberapa memeluk orang yang sebelumnya mereka hindari. Anak-anak berlari tanpa takut. Seorang pria tua dari ras Caelis menggenggam tangan seorang perempuan muda Korr, meminta maaf karena membakar rumah keluarganya 10 tahun lalu.
Yang terjadi bukan sihir.
Tapi gema empati.
Dan itu mengubah segalanya.
Menuju Lembah Bayangan
Hari berikutnya, pasukan Koalisi mulai bergerak menuju medan pertempuran. Tapi kali ini, di barisan terdepan, bukan hanya prajurit berpakaian besi.
Ada juga penyair, musisi, penyembuh, dan anak-anak yang membawa simbol perdamaian. Di antara mereka, Hati Dunia berdenyut lembut dalam kereta terapung, dijaga langsung oleh Roky dan timnya.
Sebagian menyebut mereka gila.
Tapi lebih banyak lagi… yang mulai percaya.
Penutup: Gemuruh Sebelum Perubahan
Di puncak bukit Lembah Bayangan, kelompok fanatik bersiap. Mereka melihat pasukan datang. Tapi yang mereka lihat bukan hanya tentara.
Mereka melihat wajah-wajah yang tidak ingin membunuh, tapi ingin memahami.
Dan itu—lebih dari senjata apapun—mengganggu hati mereka sendiri.
Di antara mereka, seorang anak muda menggenggam tombak dengan tangan gemetar.
"Kenapa mereka… tidak menyerang duluan?"
Tidak ada jawaban.
Karena bahkan mereka, para pembawa kebencian… mulai mendengar resonansi.