Langit di atas Dataran Sunyi mendung pekat, meski tak ada tanda hujan. Di hadapan tim ekspedisi—Roky, Faenil, Garron, Teya, Del, dan Shivra—berdiri Menara Eos, bangunan kuno berlapis batu biru-emas yang konon didirikan sebelum Etherion dibagi oleh para ras.
Bangunannya tak tinggi, namun mengeluarkan getaran yang membuat tulang belakang menggigil. Di sekelilingnya berdiri patung-patung setengah hidup, wajah mereka mengabur seolah waktu sendiri tidak sanggup mengingat siapa mereka.
Shivra membuka gulungan naskah. "Menara ini bukan hanya tempat. Ia… hidup. Dindingnya bisa berpindah. Ruang-ruangnya berubah sesuai dengan siapa yang masuk."
"Seperti refleksi," gumam Faenil.
"Seperti ujian," balas Del.
Tanpa banyak bicara, mereka memasuki menara.
Koridor Ilusi: Pintu ke Masa Lalu
Begitu melangkah masuk, suara dari luar menghilang. Hanya ada gema langkah kaki sendiri. Udara di dalam menara berubah jadi lembab dan hangat, seperti napas seseorang yang tidur terlalu dalam.
Dinding mengilap menampilkan bayangan masa lalu.
Teya adalah yang pertama berhenti. Ia menatap dinding dan melihat dirinya yang lebih muda, berdiri di atas reruntuhan kota rasnya—menyanyikan mantra pengikat sambil memenjarakan keluarga manusia yang menyerah.
"Bukan salahku… aku disuruh…" gumamnya. Tapi suaranya tak terdengar oleh bayangannya sendiri.
Garron merasakan lorong berubah menjadi gua, dan di sana ia melihat masa ketika ia mengkhianati komandan dan membiarkan desa ras Caelis dibakar habis agar bisa naik pangkat.
"Demi stabilitas," katanya pelan, tapi nada itu sudah penuh penyesalan.
Del melihat dirinya melarikan diri saat saudarinya diserang oleh makhluk malam. Ia pernah berkata ia tak cukup kuat untuk menolong. Tapi kini… ia tahu itu adalah ketakutan, bukan kelemahan.
Mereka semua terguncang. Tapi mereka tetap berjalan. Karena setiap langkah mendekatkan mereka pada Hati Dunia.
Roky dan Ilusi Dwi-Wajah
Lorong berubah ketika giliran Roky. Ia memasuki sebuah ruangan berbentuk kubah. Kosong, namun dipenuhi gema suara-suara dari jutaan jiwa.
Tiba-tiba, dunia berputar, dan ia terbangun di tubuh lain—seorang penindas, berpakaian mewah, duduk di atas singgasana dari tulang. Di hadapannya, barisan budak. Ia bisa mendengar pikirannya sendiri memerintah eksekusi pada seorang anak dari ras lain. Rasanya asing. Namun… jelas.
Seketika, dunia berganti. Kini ia seorang tertindas, dipukul, dipaksa tunduk, disiksa karena berbeda warna kulit dan bentuk telinga. Ia mencoba melawan, tapi tangannya tak kuat.
Lalu berganti lagi.
Dan lagi.
Dan lagi.
Setiap versi memperlihatkan dia sebagai pembuat luka, dan juga penerima luka. Sebagai yang menyakiti dan yang disakiti. Sebagai pelaku, dan korban.
"Siapa yang layak memimpin?" bisik suara lembut dari bayang-bayang.
"Yang melihat luka… di kedua sisi," jawab Roky dengan suara berat.
Ketika ia membuka mata, tubuhnya basah keringat. Tapi di hadapannya, di tengah ruang itu, Hati Dunia muncul. Melayang. Berbentuk bulat, tak sempurna, dengan celah halus di permukaan—seolah sedang berdetak.
Makhluk Purba: Ujian Terakhir
Namun begitu semua anggota tim tiba, lantai menara bergetar. Dari langit-langit, muncul makhluk bersisik perak besar—Thryzan, penjaga terakhir Hati Dunia.
"Satu dari kalian harus tinggal," kata suara Thryzan, menggema dari pikirannya. "Satu jiwa untuk menjaga Cahaya ini, selamanya."
Tim terdiam. Tidak ada yang bicara. Tapi Faenil melangkah maju.
"Aku sudah menyatu dengan Serpihan Cahaya. Tubuhku bukan milikku lagi. Tapi di sini… aku bisa menjaga agar Cahaya Dunia tidak dirusak. Biarkan aku yang tinggal."
Teya memprotes. "Kita butuhmu!"
"Tidak," Faenil tersenyum. "Kalian butuh seseorang yang menjaga akar agar pohon terus tumbuh."
Thryzan membungkuk, tubuh raksasanya merunduk hormat.
Hati Dunia menyala. Dan satu per satu, cahaya lembut keluar dari artefak, memasuki masing-masing anggota tim—bukan sebagai kekuatan, tapi sebagai resonansi. Mereka merasa lebih peka… terhadap rasa takut, harapan, amarah, dan cinta. Mereka jadi lebih bisa mendengar suara jiwa satu sama lain.
Kembali dengan Cahaya
Saat keluar dari Menara Eos, tidak ada yang bicara selama beberapa waktu. Tapi dunia terlihat berbeda. Langit lebih biru. Angin lebih tenang.
Hati Dunia kini terhubung dengan mereka, dan dengan sistem Etherion, yang segera akan mereka pasang di Lembah Bayangan, lokasi perang yang sebentar lagi pecah.
Roky menatap ke kejauhan. "Kita bawa bukan kemenangan. Kita bawa pengingat. Bahwa bahkan di tengah kegelapan, cahaya bisa ditemukan—asal kita mau melihat."