Aku tahu dari Instagram.
Satu unggahan yang awalnya tak ingin kubuka, tapi entah kenapa jariku bergerak sendiri. Foto itu sederhana: Sarah berdiri dalam balutan kebaya putih gading, senyumnya utuh, matanya berbinar. Di sampingnya, seorang pria mengenakan beskap biru laut, menggenggam tangannya dengan penuh keyakinan.
Caption-nya hanya satu kata:
"Akhirnya."
Dan dunia, untuk sesaat, berhenti.
Aku tidak menangis.
Bahkan, anehnya, tidak langsung terasa sakit. Hanya ada keheningan panjang dalam dada. Seperti... kehilangan sesuatu yang dulu pernah tertancap dalam, tapi sekarang sudah menjadi bekas luka lama.
Aku menatap layar ponsel itu cukup lama. Bukan untuk mencari tahu siapa pria itu, atau di mana mereka menikah. Tapi karena hatiku masih berusaha menerima bahwa dia yang dulu pernah bilang ingin "rumah kecil dan taman sederhana" bersamaku… kini membangun mimpi itu dengan orang lain.
Beberapa teman yang tahu kabar itu sempat mengirimi pesan.
"Lo udah lihat, Tio?"
"Sabar ya, bro."
"Kayaknya dia bahagia, ya."
Aku tidak membalas apa pun. Karena memang tidak ada yang perlu dikatakan. Sarah sudah memilih. Dan aku... aku hanya bagian dari masa lalu yang tak lagi relevan disebut.
Malam itu, aku membuka kotak kayu di rak buku. Di dalamnya, ada surat-surat kecil yang dulu sempat kutulis tapi tak pernah kukirim.
Salah satunya berbunyi:
"Kalau suatu hari kamu nemu seseorang yang lebih mencintaimu dari aku, dan kamu lebih bahagia bersamanya... aku akan belajar ikhlas. Tapi aku mungkin akan tetap mengenang kamu sebagai 'rumah' yang dulu sempat kurindukan."
Aku meremas surat itu. Tapi tak membuangnya. Luka ini mungkin tak akan pernah benar-benar hilang, tapi aku bisa menyimpannya rapi... agar tak mengganggu hidupku yang sekarang.
Aku duduk sendiri di balkon kamar malam itu. Menatap langit gelap yang sepi. Lalu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku mengucap doa—bukan agar dia kembali. Tapi agar dia benar-benar bahagia.
Sebab mencintai... kadang tak harus memiliki. Kadang cukup dengan mendoakan dari jauh, meski hati sendiri belum tentu sembuh.
Dan malam itu, aku belajar bahwa melepaskan bukan berarti kalah. Tapi bentuk tertinggi dari cinta yang tak lagi ingin memaksa.
Di hari Sarah menikah, aku tidak datang. Tidak juga mengirim pesan.
Tapi aku tahu, di dalam hati ini, ada satu bagian kecil yang perlahan menutup.
Tidak untuk dilupakan.
Tapi untuk diberi jeda.
Agar aku bisa membuka ruang... untuk cerita yang baru.
...