Cherreads

Chapter 8 - 8. ziarah

Sebelum memasuki area kota Gotan, Arvani mengenakan jaket pemberian Daniel. Jaket itu memiliki bahan yang ringan dan tidak panas. Warnanya merah serta hitam.

Arvani mengenakan tudungnya agar tidak dikenal oleh siapapun.

Mobil jib Ardi berhenti di dekat gerbang. Pria itu tidak turun dari mobil atau melepas kacamata sebagai penuh kesopanan. Malahan Ardi berbicara dengan penjaga gerbang seolah keduanya adalah teman lama.

Ardi pun diizinkan masuk.

Mata hitam Arvani melihat sekeliling. Dinding yang dulunya sudah lapuk dan penuh lubang karena dimakan usia hilang digantikan dengan dinding beton baru setebal 1 meter dan tinggi 30 meter. Pintu gerbang juga digantikan dengan besi kokoh yang tahan angin topan.

Diam-diam Arvani bersiul kagum atas perubahan yang ada.

Namun, kekaguman itu berubah ketika mobil jib berkendara memasuki kota. Bau anyir darah seketika menusuk indra penciumannya.

Kondisi kota dipenuhi tubuh manusia dan zombie yang tercerai-berai di mana-mana membuat baik Arvina maupun Ardi merasa mual. Ardi terus mengendarai mobilnya di jalan besar.

"Hei Ardi, aku mau pergi ke suatu tempat."

Ardi melirik sekilas ke arah Arvani. "Boleh, kita bertemu di gerbang pukul 9 malam."

Arvani mengangguk. Dia tak menunggu mobil berhenti di pinggir jalan dan langsung melompat. Ardi melambaikan tangannya sebentar sebagai bentuk salam perpisahan.

Seraya menahan bau anyir darah yang memuakkan Arvani pun berjalan menuju tempat pak tua tinggal. Sesekali ia mengamati petugas kebersihan dengan pakaian serba putih yang mengangkut mayat ke sebuah truk.

Beberapa dari mereka juga merupakan warga kota yang selamat, mereka hanya mengenakan sarung tangan serta masker putih.

Mayat-mayat tersebut akan dikumpulkan di dalam lubang besar kemudian di kubur secara bersamaan. Membakar mereka hanya akan menarik perhatian monster karena bau daging yang terbakar.

Terdapat beberapa papan tanda yang dibuat terburu-buru yang bertuliskan kalau ada beberapa tempat yang belum diamankan dan menyuruh warga untuk berhati-hati. Arvani mengabaikan papan peringatan itu dan terus berjalan.

Semakin dekat Arvani pada area tempat tinggalnya semakin sedikit pula bau darah yang tercium. Hal itu membuatnya sedikit lega.

Namun jejak kaki berdarah yang sejalan dengan tujuannya membuat Arvani menjadi tegang. Perempuan itu mengepalkan tangannya erat seraya berharap.

"Hei Kensei, menurutmu apa pak tua penjaga makam itu masih hidup?"

Tak ada jawaban.

Arvani mulai memasuki kecemasan tingkat satu membuatnya mempercepat langkah kaki. Jantungnya mulai berdetak kencang dengan keringat dingin yang keluar dari dahinya.

Hutan bambu yang menandakan bahwa Arvani sudah memasuki area makam terlihat tenang. Hanya terdengar suara angin serta derit batang bambu yang saling bergesekan.

Tap!

Arvani menghentikan langkahnya ketika sudah sampai di depan area makam. Perempuan itu mencoba menetralkan nafasnya yang memburu lalu berjalan mendekati gubuk tempat pak tua tinggal.

Jejak berdarah yang ia lihat tadi tidak tertuju pada gubuk tapi Arvani tak merasakan adanya tanda-tanda kehidupan di dalam gubuk.

Di dalam gubuk Arvani melihatnya. Sebuah tubuh yang terbaring kaku di dekat pintu. Tubuh seorang kakek tua yang memeluk sebuah buku bekas.

Saat itu pula Arvani berpikir.

Dia terlambat.

Dengan tatapan kosong, Arvani berjalan mendekati tubuh kaku tersebut. Perlahan, ia mengambil buku yang berada dalam pelukan kakek tua itu.

Walau sampai sekarang Arvani tidak tahu namanya, kakek tua ini berhak mendapatkan pemakaman yang layak. Maka dari itu, Arvani berdiri, mengambil cangkul terdekat dan mulai menggali.

Sang surya yang telah tenggelam bersama cahayanya tak membuat Arvani takut seperti dulu. Rasa sakit tidak muncul dari tangannya yang sedang menggali melainkan dari hatinya karena terus mengingat kenangan bersama kakek tua itu.

Di saat keluarganya sendiri membuang Arvani, kakek tua itulah yang merawatnya.

Di saat orang lain berusaha menolong untuk menipu, kakak tua itulah yang menolong agar Arvani bisa bertahan hidup di dunia yang keras.

Sampai akhir hidupnya, kakek tua ini tidak pernah mengkhianati dan meninggalkan Arvani.

Ironisnya, Arvani sendirilah yang pergi meninggalkan kakek tua ini.

Pemakaman berlangsung singkat dan Arvani memutuskan pergi membawa buku milik kakek tua itu.

Begitu tiba di gua tempat biasa Arvani tinggal. Perempuan itu tak melihat adanya perubahan. Segera ia mengambil kain yang menutupi buku-bukunya dan segera pergi menuju pintu gerbang.

Dalam perjalanan Arvani merasakan seseorang sedang mengikutinya. Perempuan berambut hitam itu pun memilih untuk terus berjalan keluar dari gerbang.

Ia berjalan menuju desa mati tempat dirinya melihat kelompoknya saling berkhianat dulu. Desa ini masih sama kacaunya dengan yang terakhir kali Arvani lihat.

"Keluarlah," ucap Arvani dengan nada datar.

Matanya menatap kosong pada 5 orang yang muncul mengelilingi dirinya. Kelima orang itu memakai pakaian khas negara Matahari Terbit berserta lambang bunga sakura di dada kiri.

"Siapa kalian?"

"Kamu memiliki buku yang tidak seharusnya kamu miliki, nak."

Mata hitam Arvani melirik 20 buku di tas kainnya.

"Yah ... Aku memang berniat menjual buku ini pada seseorang sih. Apa kalian berminat?"

"Di mana kamu menemukan buku itu?"

Arvani tersenyum seraya menahan kesal karena bukannya menjawab pertanyaan orang-orang itu malah balik bertanya.

"Di jalan." Jawab Arvani dengan nada ketus.

"Berikan buku itu pada kami."

"Nih." Arvani pun melemparkan kain berisi buku tersebut pada orang yang berdiri di depannya.

Bruk!

Kain tersebut jatuh dan membuat beberapa buku keluar. Mata pria itu melirik sekilas judul yang tertera di sana lalu kembali menatap Arvani.

"Apa kau sudah membaca buku ini?"

"Memangnya itu buku tentang apa?" Arvani balik bertanya.

Mata pria berbaju putih itu melirik ke arah buku bekas di tangan Arvani.

"Berikan buku itu juga."

"Tidak bisa."

Sring!

Satu penolakan dari Arvani membuat ke lima orang tersebut mengeluarkan pedang katana mereka. Perempuan berambut hitam itu menghela nafas lelah. Buang-buang waktu saja berbicara dengan mereka.

Entah seperti apa jawaban Arvani, pada akhirnya mereka akan membunuh perempuan ini untuk menghapus jejak. Bahkan jika Arvani tidak mengetahui apapun.

"Kensei, kau bilang butuh jiwa bukan? Keluar dan bunuh mereka semua."

Arvani menutup mata kirinya yang terasa kosong. Sosok berambut putih yang mengenakan jubah berbulu dengan warna senada muncul tepat dibelakang perempuan itu.

Mata kuning Kensei melirik sekilas ke sekitar lalu tersenyum tipis.

"Pas sekali. Aku sudah sangat lapar."

Deg!

Hawa membunuh yang keluar dari sosok Kensei berhasil membuat kelima orang itu merinding. Mereka langsung mengarahkan serangannya pada Kensei. Sementara Arvani berjalan santai menuju buku-buku yang sudah ia lemparkan.

Korban pertama Kensei adalah pria yang sedari tadi berbicara dengan Arvani. Tebasan katana pria itu hanya akan menembus tubuh Kensei.

"Bodoh. Kalian pikir bisa mengalahkan pendekar pedang sepertiku dengan kemampuan ini."

Kensei menyeringai lebar ketika tangan kekarnya dengan mudah mematahkan leher pria itu dan membuang tubuhnya ke sembarang tempat. Pria berambut putih panjang itu berbalik.

"Sekarang, cobalah untuk memohon ampun atas hidup kalian."

Mengabaikan jerit ketakutan serta tawa samar Kensei yang menikmati pembunuhan, Arvani mulai menata buku-buku tersebut dan berbalik hanya untuk mendapati bahwa kelima orang tersebut sudah mati.

Aura Kensei terlihat lebih cerah setelah memakan jiwa kelima orang tersebut. Atau lebih tepatnya terasa lebih kuat.

More Chapters