Cherreads

Chapter 8 - Chapter 52: Masa Damai yang Rapuh

Langit di atas Ibukota Tengah tampak jernih pagi itu, dihiasi garis-garis tipis awan putih yang menyerupai bekas luka pada kulit biru langit. Sebuah simbol yang ironis, mengingat kota ini dulunya adalah medan perang berdarah yang menyatukan sembilan ras dan membentuk fondasi dunia baru.

Di alun-alun utama, lonceng Kedamaian berdentang tiga kali, menandai dibukanya pertemuan Dewan Harmoni Dunia (DHD). Di antara deretan bangku batu melingkar, duduk para perwakilan ras: dari Eldrin yang bijak hingga Zephyra yang angkuh, dari ras batu Granith yang keras kepala, hingga ras bayangan Noctari yang misterius. Dan di tengah mereka semua—duduk tanpa tahta, tanpa mahkota—Roky.

"Rapat hari ini akan membahas distribusi Etherion tahap keempat," ujar Jendela, seorang diplomat muda dari ras Aquari. Suaranya tenang, tapi Roky bisa merasakan riak ketegangan yang menyembul dari balik kalimatnya.

Sejak perang besar usai dan sistem Etherion dinetralkan, dunia memang perlahan pulih. Namun, keadilan bukan sekadar membagi sumber daya. Ada luka sejarah, dendam turun-temurun, dan ketidakpercayaan yang tak hilang hanya karena satu kemenangan.

"Ras kami hanya mendapat jatah seperlima dari kebutuhan dasar kami," kata Varnak dari Granith. "Sementara Zephyra mendapat dua kali lipat. Apakah ini adil?"

Sorotan mata langsung tertuju pada perwakilan Zephyra, seorang wanita muda dengan rambut perak bernama Shireen.

"Kami mengelola lebih banyak jaringan distribusi. Kami menjaga portal selatan dari serangan sisa-sisa simpatisan fanatik. Kami mengambil risiko," ucap Shireen dengan angkuh.

"Risiko yang kalian ciptakan sendiri," sela Ragar dari ras Katalin. "Kau menguasai jalur Etherion, lalu kau sebut itu beban? Menyedihkan."

Roky menepuk tongkat kayu di tangannya—sebuah isyarat simbolik, bukan otoritatif. Dewan tidak tunduk padanya. Mereka hanya percaya padanya… untuk saat ini.

"Kita semua pernah berdiri di medan perang yang sama. Menderita luka yang sama," ucap Roky, suaranya pelan namun jelas. "Tapi jika hari ini kita kembali berbicara seperti musuh, maka untuk apa semua pengorbanan itu?"

Senyap menggantung. Tapi bukan senyap damai—melainkan senyap dingin. Roky tahu, sebagian dari mereka masih menyimpan luka yang belum kering.

Setelah pertemuan berakhir tanpa kesepakatan konkret, Roky berjalan keluar menuju balkon lantai atas gedung dewan. Di bawah, ia melihat kerumunan warga dari berbagai ras mencoba beraktivitas seperti biasa—berjualan, berbincang, membangun kembali.

"Cahaya dunia ini belum benar-benar terang, ya?" suara lembut terdengar di belakangnya.

Itu Teya, perwakilan Ras Kesepuluh. Ia adalah satu dari sedikit makhluk hasil sintesis dua ras lama—manusia dan Noctari—yang muncul pasca Perang Etherion. Tubuhnya kurus, matanya selalu setengah redup seolah menyimpan dunia di dalamnya.

"Cahaya butuh waktu untuk mencapai seluruh sudut," jawab Roky.

Teya mendekat, menatap ke arah timur, ke balik gunung tempat reruntuhan lama berdiri.

"Aku dengar desas-desus. Di wilayah timur, ada penampakan pasukan misterius. Mereka membakar tiga menara pengawas dan meninggalkan simbol—mata berdarah."

Roky menghela napas. "Aku tahu."

Ia menerima laporan itu dua hari lalu, tapi memilih merahasiakannya dulu dari Dewan. Belum saatnya memicu kepanikan.

"Kelompok lama?" tanya Teya.

"Mungkin. Atau sesuatu yang lebih baru. Tapi ideologi mereka… pasti dari masa lalu."

Teya terdiam sejenak sebelum berkata, "Ketika kau menyatukan dunia, semua berpikir ini adalah akhir. Tapi sesungguhnya, ini hanya awal dari ujian yang sebenarnya."

Sore harinya, Roky duduk di ruangannya, menatap peta dunia baru. Wilayah telah dibagi secara adil—setidaknya di atas kertas. Tapi konflik muncul bukan karena peta, melainkan karena makna di balik batas-batas itu.

Di meja kerjanya, ada surat tak bertanda dari utusan tak dikenal. Ia membukanya dengan waspada.

"Persatuanmu adalah ilusi. Dunia tidak butuh jembatan, ia butuh batas. Kami akan membakar jembatan itu, satu demi satu. Bersiaplah, Penjaga Damai."

Roky menutup surat itu, matanya berat. Ia tahu hari ini akan datang. Tapi ia tak menyangka secepat ini.

Malam itu, di sebuah desa terpencil di perbatasan utara, sekelompok makhluk berjubah merah mendirikan api unggun. Di tengah lingkaran, mereka menanam bendera hitam dengan simbol mata berdarah.

Velgar Tharn berdiri di antara mereka—kulitnya penuh luka, matanya bersinar merah, seolah menatap langsung ke masa depan yang ingin ia hancurkan.

"Kalian dengar nama mereka menyebut sang 'pembawa damai' seolah dia dewa. Tapi ingatlah, dialah yang melemahkan ras-ras besar! Ia mencampur darah kita dengan yang lemah! Kita akan ambil kembali dunia ini… dengan darah!"

Seruan perang menggema di antara nyala api dan udara dingin malam.

Kembali ke Ibukota Tengah, Roky berdiri di depan patung besar bertuliskan "Demi dunia tanpa tirani, tanpa diskriminasi."

Ia menggenggam tongkatnya, menatap bintang-bintang yang mulai bermunculan di langit.

"Kalau ini adalah masa damai," gumamnya lirih, "maka ini adalah masa damai yang rapuh… tapi aku akan tetap menjaganya. Meski retak. Meski runtuh. Aku akan mencoba lagi."

Dan di kejauhan, cahaya samar dari timur mengedip, seolah memperingatkan: bayangan akan datang lagi.

More Chapters