Aku masih ingat persis malam itu. Angin dingin bulan Mei menyelinap lewat sela-sela jaketku, tapi yang benar-benar membuat tubuhku menggigil... adalah pesannya.
"Kamu bisa ketemu sekarang? Tapi sebentar aja."
Tak butuh waktu lama bagiku untuk keluar. Padahal biasanya, dia yang selalu menungguku. Tapi malam itu, aku seperti yang kehabisan waktu.
Kami bertemu di taman kecil belakang kampus, tempat yang dulu jadi favorit kami duduk berdua. Tapi malam itu, hanya ada satu kursi kosong… dan jarak yang terasa asing.
Sarah datang dengan jaket cokelat dan syal abu-abu kesukaannya. Rambutnya diikat seadanya. Wajahnya... bukan wajah yang sama seperti yang aku lihat di hari-hari indah dulu. Dia terlihat lelah. Tapi bukan lelah fisik — melainkan lelah hati.
Aku tersenyum tipis. "Hai."
Dia membalas dengan anggukan pelan. "Hai."
Tak ada pelukan. Tak ada genggaman tangan. Hanya dua orang yang dulu saling mencintai... kini duduk saling menjaga jarak.
"Jadi… kamu mau bicara apa?" tanyaku, berusaha terdengar tenang.
Sarah menghela napas panjang. "Aku udah mikir lama. Dan aku rasa... kita udah beda jalan."
Aku menatapnya. "Kenapa nggak bilang dari kemarin-kemarin?"
"Aku nggak mau nyakitin kamu."
"Kamu pikir ini nggak nyakitin?"
Hening.
Angin meniup dedaunan, seperti ikut jadi saksi satu hati yang patah pelan-pelan.
"Aku nggak bisa pura-pura bahagia terus, Tio. Aku capek jadi seseorang yang kamu butuhin, tapi di saat yang sama… aku kehilangan diriku sendiri."
Aku menunduk. Rasanya ada batu besar menekan dadaku. Aku ingin protes, ingin minta waktu. Tapi suaraku hilang. Hilang karena jauh di dalam hatiku… aku tahu dia tidak bohong.
"Aku masih sayang sama kamu, Tio… tapi kadang sayang aja nggak cukup."
Itu kalimat yang paling menyakitkan yang pernah kudengar.
Bukan karena dia marah. Bukan karena dia meninggalkanku untuk orang lain.
Tapi karena kami sama-sama masih saling sayang… dan tetap harus berpisah.
"Aku harap kamu bahagia," katanya sebelum berdiri.
Aku menatapnya lama. "Kalau aku nggak bahagia tanpa kamu, gimana?"
Dia diam. Lalu menjawab dengan mata berkaca-kaca, "Suatu hari kamu akan bahagia. Mungkin bukan hari ini, tapi nanti. Saat kamu nemu seseorang yang nggak harus kamu pertahankan dengan usaha terus-menerus. Dia akan tinggal… karena memang mau tinggal."
Setelah itu, dia pergi.
Tanpa pelukan. Tanpa salam perpisahan.
Hanya langkah yang menjauh... dan perasaan yang tak pernah sempat benar-benar diungkapkan.
Malam itu, aku duduk sendiri di bangku taman. Lama. Menyaksikan lampu taman berkedip, dan kenangan yang berputar di kepalaku seperti film usang.
Malam itu... adalah malam terakhir aku bicara dengannya.
Dan di situlah aku belajar: kadang, perpisahan yang paling menyakitkan bukan yang meledak karena pertengkaran, tapi yang terjadi dalam diam. Dengan kesadaran bahwa kita saling mencintai… tapi tidak bisa bersama.
...